ngomong2 kalian udah tau belum apa itu sistem imun??
kalo belummm yukk kita bahas sama-sama apa itu sistem imun, let's see......
Latar
Belakang
Pada
mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh,
terutama respons kekebalan terhadap penyakit infeksi. Imunologi adalah suatu
cabang yang luas dari ilmu biomedis yang mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada semua organisme. Imunologi antara lain mempelajari peranan fisiologis sistem imum baik dalam keadaan sehat maupun sakit;
malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi karakteristik fisik, kimiawi, dan
fisiologis komponen-komponen sistem imun.
Imunitas adalah resistensi terhadap
penyakit terutama penyakit infeksi. Sistem imun adalah gabungan sel, molekul, dan jaringan
yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi. Sistem imun diperlukan oleh tubuh untuk mempertahankan keutuhannya
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup
Imunoglobulin
atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat dalam serum atau
cairan tubuh pada hampir semua mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein
yang mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18%
karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul antibodi
tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat antigen secara
spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan histamin dari sel
mast.
Pengantar
Imunologi
Apa Itu Imunologi
·
Imunologi:
Ilmu yang mempelajari tentang sistem imun tubuh
·
Sistem
imun : Semua mekanisme yg digunakan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya
yg dpt ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup
·
Lingkungan:
fisik, kimia, biologi
Macam Sistem Imun
·
Sistem
imun alamiah/ non spesifik/ nature/ innate
·
Sistem
imun didapat/ spesifik/ adaptif/ acquired
Sistem Imun Alamiah
·
Sifat
non spesifik: artinya memberikan perlindungan kepada semua bahan/lingkungan yang
mengancam tubuh
·
Didapat
sejak lahir
·
Respon
cepat artinya tidak perlu waktu untuk mengenal antigen
Dibedakan
3 macam:
1.) Fisik
2.) Larutan
3.) Seluler
Macam Sistem Imun Alamiah
·
Fisik
/ Mekanik
·
Kulit
·
Selaput
lender
·
Silia
·
Batuk
·
Bersin
Larutan
·
Biokimia:
Asam lambung, Saliva, Cairan vagina
·
Humoral:
Komplemen, Interferon, C-Reaktif Protein
Seluler
·
Fagosit:
Leukosit (Neutrofil, Eosinofil, Monosit, Makrofag)
·
Sel
Nol (Large Granular Lymphocyte): Natural Killer Cell (sel NK), Killer Cell (sel
K)
·
Sel
Mediator: Basofil, Mastosit, Trombosit
Sistem Imun Spesifik
·
Sifat
spesifik: artinya memberikan perlindungan hanya kepada jenis antigen tertentu,
tidak untuk yang lainya.
·
Diperoleh
dengan jalan: imunisasi, sakit, atau dari ibu lewat plasenta, ASI
·
Untuk
mendapatkanya perlu waktu, artinya tubuh perlu mengenal dulu antigen tersebut
kemudian sel imun mengalami sensitifasi untuk memproduksi kekebalan
·
Kekebalan
baru berfungsi, pada saat terpapar antigen yg kedua
Macam Sistem Imum Spesifik
·
Humoral:
Limfosit B disebut juga sel B, berfungsi membentuk antibody
·
Seluler:
Limfosit T disebut juga sel T, berfungsi membunuh virus, jamur, parasit,
keganasan
·
Sistem
Limfoid: Kel. Timus, Limpa, kel. Limfe (tonsil)
·
MALT
(Mucosal Associated Lymphoid Tissue), banyak terdapt dalam saluran nafas,
cerna, genital
·
SALT
(Skin Associated Lymphoid Tissue) banyak terdapat dalam Keratinoid, melanosid,
sel Langerhans, kolagen
Antigen dan Antibody
Berbagai
pathogen seperti bakteri, virus, jamur atau parasite mengandung berbagai bahan
yang disebut imunogen atau antigen dan dapat menginduksi sejumlah respons imun.
Antibody adalah bahan glikoprotein yang diproduksi sel B sebagai respons
terhadap rangsangan imunogen. Dalam praktek antigen sering digunakan sebagai
imunogen.
Antigen
Secara spesifik imunogen adalah bahan yang dapat merangsang
sel B atau sel T atau keduanya. Antigen adalah bahan yang berinteraksi dengan
produk respons imun yang dirangsang oleh imunogen spesifik seperti antibody dan
atau TCR. Antigen lengkap adalah antigen yang menginduksi baik respons imun
maupun bereaksi dengan produknya. Yang disebut antigen inkomplit atau hapten,
tidak dapat dengan sendiri menginduksi respons imun, tetapi dapat bereaksi
dengan produknya seperti antibody. Hapten dapat dijadikan imunogen melalui
ikatan dengan molekul besar yang disebut molekul atau protein pembawa.
Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen
dan hapten. Contoh hapten adalah dinitrofenol, berbagai golongan antibiotic dan
obat lainnya dengan berat molekul kecil. Hapten biasanya dikenal oleh sel B,
sedangkan protein pembawa oleh sel T. hapten membentuk epitope pada protein
pembawa yang dikenal sistem imun dan merangsang pembentukan antibody. Molekul
pembawa sering digabung dengan hapten dalam usaha memperbaiki imunisasi. Respon
sel B terhadap hapten memerlukan protein pembawa untuk dapat dipresentasikan ke
sel Th.
A.
Imunogenesitas
dan Antigenesitas
Imunogenesitas
dan antigenesitas mempunyai hubungan satu dengan lain tetapi berbeda dalam
sifat imunologinya yang sering kali membingungkan. Imunogenesitas adalah
kemampuan untuk menginduksi respons imun humoral atau selular.
Meskipun
suatu bahan yang dapat menginduksi respons imun spesifik disebut antigen,
tetapi lebih tepat disebut imunogen. Semua molekul dengan sifat imunogenesitas
juga memiliki sifat antegenesitas, namun tidak demikian sebaliknya.
B.
Determinan
Antigen – Epitop dan Paratop
Sel
sistem imun tidak berinteraksi dengan atau mengenal seluruh molekul imunogen
tetapi limfosit mengenal tempat khusus pada makromolekul yang disebut epitop
atau determinan antigen. Sel B dan T mengenal berbagai epitope pada molekul
antigen yang sama. Limfosit juga dapat berinteraksi dengan antigen yang
kompleks pada berbagai tahap struktur antigen. Oleh karena sel Bmengikat
antigen yang bebas dalam larutan, epitope yang dikenalnya cenderung mudah
ditemukan di permukaan imunogen. Epitope sel T dari protein berbeda dalam
peptide, biasanya berasal dari hasil cerna protein pathogen oleh enzim yang
dikenal oleh TCR dalam kompleks dengan MHC.
Epitope
atau determinan antigen adalah bagian dari antigen yang dapat membuat kontak
fisik dengan reseptor antibody, meginduksi pembentukan antibody yang dapat
diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibody atau oleh reseptor antibodi.
Makromolekul dapat memiliki berbagai epitope yang masing-masing merangsang
produksi antibody spesifik yang berbeda. Paratop ialah bagian dari antibody
yang mengikat epitope atau TCR yang mengikat epitope pada antigen. Respons imun
dapat terjadi terhadap semua golongan bahan kimia seperti hidrat arang, protein
dan asam nukleat.
Determinan
antigen bereaksi dengan tempat spesifik yang mengikat antigen diregio yang
variabel pada molekul antibody yang disebut paratop. Epitope dapat juga
bereaksi dengan TCR yang spesifik. Molekul antigen tunggal dapat memiliki
beberapa epitope. Epitope bereaksi dengan regio yang mengikat antibody ataU
TCR. Regio antigen yang berikatan dengan MCH II disebut agretop.
Antigen poten alamiah
terbanyak adalah protein besar dengan berat molekul lebih dari 40.000 dalton
dan kompleks polisakarida microbial. Glikolipid dan lipoprotein dapat juga
bersifat imunogenik, tetapi tidak demikian halnya dengan lipid yang dimurnikan.
Asam nukleat dapat bertindak sebagai imunogen dalam penyakit autoimun tertentu,
tetapi tidak dalam keadaan normal.
C.
Antibodi
Disamping
fungsinya sebagai antibody, antibody juga dapat berfungsi sebagai protein
imunogen yang baik, dapat memacu produksi antibody pada spesies lain atau
autoantibodi pada pejamu sendiri. Autoantibodi terutama diproduksi terhadap IgM
misalnya yang ditemukan pada AR dan disebut FR (factor rheumatoid).
D.
Mitogen
– Petanda Fungsional
Mitogen
dan lektin merupakan bahan alamiah yang mempunyai kemampuan mengikat dan
merangsang banyak klon limfoid untuk poliferasi dan diferensiasi. Bahan-bahan
tersebut merupakan activator poliklonal yang dapat mengaktifkan banyak klon
limfosit, bukan hanya klon limfosit dengan spesifitas khusus. Glikoprotein
(lektin) asal tanaman yaitu konkanavalin A (con A) dan PHA merupakan mitogen
poten untuk sel T.
E.
Pembagian
Antigen
Antigen dapat dibagi
menurut epitope, spesifitasi, ketergantungan terhadap sel T dan sifat kimiawi:
1.) Pembagian
antigen menurut epitope
·
Unideterminan, univalent
Hanya satu jenis
determinan/epitope pada satu molekul
·
Unideterminan, multivalent
Hanya satu jenis
determinan tetapi dua atau lebih determinan tersebut ditemukan pada satu
molekul
·
Multideterminan, univalent
Banyak epitope yang
bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein)
·
Multideterminan, multivalent
Banyak macam determinan
dan banyak dari setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul
ang tinggi dan komplek secara kimiawi).
2.) Pembagian
antigen menurut spesifitas
·
Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak
spesies
·
Xemoantigen, yang hanya dimilki spesies
tertentu
·
Aloantigen (isoantigen), yang spesifik
untuk individu dalam satu spesies
·
Antigen organ spesifik, yang hanya
dimilki organ tertentu
·
Autoantigen, yang dimilki alat tubuh
sendiri
3.) Pembagian
antigen menurut ketergantungan terhadap sel T
·
T dependen, yang memerlukan pengenalan
oleh sel T terlebih dahulu untuk dapat menimbulkan respons antibodi. Kebanyakan
antigen protein termasuk dalam golongan ini.
·
T independen, yang dapat merangsang sel
B tanpa bantuan sel T untuk membentuk antibody. Kebanyakan antigen golongan ini
berupa molekul besar polimerik yang dioecah didalam tubuh secara
perlahan-lahan, misalnya lipopolisa karoda, ficoll, dekstran, levan dan
flagelin polimerik bakteri
4.) Pembagian
antigen menurut sifat kimiawi
·
Hidarat arang (polisakarida)
Hidrat arang pada
umumnya imunognik. Glikoprotein yangmerupakan bagian permukaan sel banyak
mikroorganisme dapat menimbulkan respons imun terutama pembentukan antibody.
Contoh lain adalah respon imun yang ditimblkan golongan darah ABO, sifat
antigen dan spesifitas imunnya berasal dari polisakarida pada permukaan sel
darah merah.
·
Lipid
Lipid biasanya tidak imunogenik,
tetapi menjadi imunogenik bila diikat protein pembawa. Lipid dianggap sebagai
hapten, contohnya adalah sfingolipid.
·
Asam nukleat
Asam nukleat tidak
imunogenik, tetapi dapat menjadi imunogenik bila diikat protein molekul
pembawa. DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respons imun
terhadap DNA terjadi pada penderita dengan LES.
·
Protein
Kebanyakan protein
adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan dan univalent.
F.
Superantigen
Superantigen
adalah molekul yang merupakan pemacu respons imun protein, memiliki
tepat-tempat untuk megikat reseptor sel dari dua sistem imun yaitu rantai β dan
TCR dan rantai α atau β dari molekul MHC-II, tidak memerlukan pengolahan
intraseluler oleh APC dan tidak terbatas pada alel MHC-II khusus. Superantigen
merupakan molekul protein kecil, biasanya 22-30 kd yang diproduksi berbagai
pathogen untuk manusia seperti ; Stafilokok aureus (enterotoksin dan toksin
eksofoliatif), Stafilokok piogenes (eksotosin), pathogen negative – Gram
(toksin Yersinia enterokolitika, Yersinia pseudotuberkolosis), virus (EBV, CMV,
HIV, rabies) dan parasite ( Toksoplasma gondi). Mungkin lebih baik bila disebut
supermitogen, oelh karena dapat memacu mitosis sel CD4+ tanpa
bantuan APC.
Superantigen
dapat merangsang sel T yang multiple terutama sel CD4+ yang
menimbulkan penglepasan sejumlah besar sitokin. Superantigen dapat merangsang
10% sel CD4+ melalui ikatan dengan TCR dan timus dependen sehinga
tidak memerlukan proses oleh fagosit. Superantigen tidak diikat melalui lekuk
internal tempat antigen biasanya diikat untuk diproses, tetapi diikat oleh
regio eksternal TCRαβ yang secara simultan berhubungan dengan molekul DP, DQ,
dan DR (MHC) pada APC. Superantigen juga bereaksi dengan TCR multiple yang
struktur perifernya sama.
Karena
kemampuan berikatan secara unik, superantigen dapet mengaktifkan sejumlah besar
sel T dan tidak tergatung dari spesifitas antigen. Sampai 20% dari semua sel T
dalam darah dapat diaktifkan oleh satu molekul superantigen. Efek superantigen
terhadap sel T terlihat setelah diikat TCR. Kualitas respons sel T lebih cepat
dan besar berupa produksi sitokin seperti IL-2, IL-6, IL-8, TNF-α, IFN-γ, yang
berperan dalam inflamasi, dan menimbulkan ekspansi massif sel T reaksi spesifik
dan sindrom klinis berupa DIC dan kolaps vascular yang dikenal sebagai syok
endotoksin, sindrom syok toksin atau septik terutama melalui TNF-α.
Superantigen tealah digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan respons imun
terhadap antigen dan imunisasi.
Melalui
MHC-I dan TCR, superantigen mengarahkan sel Th untuk memberikan sinyal ke sel
B, makrofag, sel dendritic dan sel sasaran lain.
G.
Aloantigen
Alloantigen
adalah antigen yang ditemukan pada beberapa spesies tertentu Antara lain bahan
golongan darah pada eritrosit dan antigen histokompatibel dalam jaringan tandur
yang merangsang respons imun pada resipien yang tidak memilikinya.
H.
Toksin
Toksin
adalah racun yang biasanya berupa imunogen dan merangsang pembentukan antibody
yang disebut antitoksin dengan kemampuan untuk menetralkan efek merugikan dari
toksin dengan mengganggu sintesanya.
Toksin dapat dibagi
sebagai berikut :
·
Toksin bakteri, diproduksi oleh
mikroorganisme penyebab tetanus, difteri, botulism dan gas gangrene, termasuk
stafilokok.
·
Fitotoksin, toksin asal tumbuhan seprti
risin dari minyak jarak, korotein dan abrin yang merupakan turunan biji likoris
indian, Gerukia.
·
Zootoksin, bias yang berasal dari ular,
laba-laba, kalajengking, lebah dan tawon.
Antibodi
Bila darah dibiarkan membeku akan meninggalkan serum
yang mengandung berbagai bahan larutan tanpa sel. Bahan tersebut mengandung
olekul antibody yang digolongkan dalam protein yang disebut globulin dan
sekarang dikenal dengan immunoglobulin. Dua cirinya yang penting ialah
spesifitas dan aktivitas biologic. Fungsi utamanya adalah mengikat antigen dan
menghantarkanya ke sistem efektor pemusnahan.
Immunoglobulin
(Ig) dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari polifeasi sel B yang terjadi
setelah kontak dengan antigen. Antibody yang terbentuk secara spesifik akan
mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Bila serum protein tersebut
dipisahkan dengan cara elektroforesis, maka immunoglobulin ditemukan terbanyak
dalam fraksi globulin gamma, meskipun ada beberapa immunoglobulin yang juga
ditemukan dalam fraksi globulin
α
dan β.
Enzim papain memecah molekul antibody (dengan berat
molekul 150.000 dalton) dalam fragmen masing-masing dari 45.000 dalton. Dua
fragmen tetap memilki sifat antibody yang dapat mengikat antigen secara
spesifik, bereaksi dengan determinan antigen serta hapten disebut Fab (fragmen
antigen bindng) dan dianggap univalent. Fragmen ke 3 dapat dikristalkan dari
larutan dan disebut Fc dan tidak dapat mengikat antigen. Fc menunjukan fungsi
biologis sesudah antigen diikat oleh Fab. Semua molekul immunoglobulin mempunyai
empat ranta polipeptida dasar yang terdiri atas dua rantai berat (heavy chain)
dan dua rantai ringan (light chain) yang identic.
Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang
terdiri atas 230 asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada
kelima jenis immunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgE, IgA dan IgD. Rantai berat
terdiri atas 450-600 asam amino, sehingga berat dan panjang rantai tersebut
adalah dua kali rantai ringan. Molekul immunoglobulin memilki rumus bangun yang
heterogen, meskipun hanya terdiri atas 4 unit polipeptida dasar.
A.
Immunoglobulin
G
IgG
merupakan komponen utama immunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000
dalton. Kadarnya dalam serum sekitar 13 mg/ml, merupakan 75% dari semua
immunoglobulin. IgG ditemukan dalam berbagai cairan seperti darah, CSS dan juga
urin.
·
IgG dapa menembus plasenta masuk ke
janin dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan.
·
IgG dan komplemen bekerja saling
membantu sebagai opsonin pada pemusnahan antigen. IgG memiliki memilki sifat
opsonin yang efektif karena sel-sel fagosit, monosit, dan makrofag mempunyai
reseptor untuk faksi Fc dari IgG (Fcγ-R) sehingga dapat mempererat hubungan
antara fagosit dengan struktur dasar antibody dapat dipelajari dengan cara
kimiawi dan enzimatik. Fragme yang diproduksi oleh pencernaan enzimatik (pepsin
atau papain) atau yang diikat oleh ikatan disulfida dengan markapto etanol.
Unit dasar antibody yang terdiri atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan yang
identic, diikat menjadi satu oleh ikatan disulfida yang dapat dipisah-pisah
dalam berbagai fragmen.
Opsosnin
dalam Bahasa Yunani berarti menyiapkan untuk dimakan. Selanjutnya proses opsonisasi
tersebut dibantu oleh reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit.
IgG
merupakan immunoglobulin terbanyak dalam darah, CSS dan peritoneal. IgG pada
manusia terdiri atas 4 subkelas yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4 yang berbeda
dalam sifat dan aktivitas biologic.
B.
Immunoglobulin
A
IgA
dengan berat molekul 165.000 dalton ditemukan dalam serum dengan jumlah
sedikit. Kadarnya terbanyak ditemukan dalam cairan sekresi saluran napas, cerna
dan kemih, air mata, keringat, ludah dan dalam air susu ibu yang lebih berupa
IgA sekretori (sIgA) yang merupakan bagian terbanyak. Komponen sekretori
melindungi IgA dari protease mamalia.
Fungsi IgA adalah
sebagai berikut:
·
sIgA melindungi tubuh dari pathogen oleh
karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi dari pathogen potensial sehingga
mencegah adherens dan kolonisasi pathogen tersebut dalam sel pejamu.
·
IgA dapat bekerja sebagai opsonin, oleh
karena neutrophil, monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk Fcα (Fcα-R)
sehingga dapat meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan dapat
menetralisasi toksin. IgA diduga juga berperan pada imunitas cacing pita.
·
Baik IgA dalam serum maupun dalam
sekresi dapat menetralkan toksin atau virus dan mencegah terjadinya kontak
antara toksin atau virus dengan sel alat sasaran.
·
IgA dalam serum dapat mengaglutimasikan
kuman, menggangu motilitasnya sehingga memudahkan fagositosis (opsonisasi) oleh
sel polimorfonuklear.
·
IgA sendiri dapat mengaktifkan komplemen
melalui jalur alternative, tidak halnya seperti IgG dan IgM yang dapat
mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. IgA sekretori (sIgA) dalam bentuk
polimerik menjadi stabil oleh ikatan polipeptida rantai J.
Molekul IgA yang
polimerik dan rantai J dibentuk sel plasma didalam sel epitel lamina propria
selaput lender (tidak oleh sel B). Pada saat IgA tersebut dilepas kedalam lumen
saluran cerna. Sel epitel juga melepas bagian sekretori untuk membentuk sIgA
yang terlindung dari pencernaan oleh enzim. Immunoglobulin dalam cairan lambung
terdiri atas 80% IgA, 13% IgM, dan 7% IgG, yang semuanya berperan pada imunitas
setempat.IgM juga dapat dilindungi bagian sekretori dengan berat molekul 70.000
dalton sehingga dapat berfungsi bila ada defisiensi sIgA.
Definisi sIgA sering disertai dengan
adanya antibody terhadap antigen makanan dan inhalan pada alergi. Didalam air
susu ibu ditemukan sIgA, di samping laktoferin, transferrin, lisozim, lipid,
lactobacillus promoting faktor, fagosit dan limfosit yang berperan pada
imunitas neonatus.
Kadar IgA yang tinggi dalam serum
ditemukan pada infeksi kronik saluran napas dan cerna, seperti tiberkulosis,
sirosis alkoholik, penyakit coeliac, colitis ulseratif dan peyakit Chrohn.
Fungsi IgA serum dalam bentuk monomeric belum banyak diketahui. IgA terdiri
atas 2 subkelas yaitu IgA1 (93%), dan IgA2 (7%). Bila produksi IgA pada
permukaan mukosa diperhitungkan, maka IgA merupakan Ig terbanyak. Reseptor
dengan afinitas tinggi untuk kelas IgA ditemukan padas makrofag dan sel PMN
yang berperan dalam fagositosis.
C.
Immunoglobulin
M
Nama
M beraal dari makro-globulin dan berat molekul IgM adalah 900.000 dalton. IgM
mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan immunoglobulin terbesar. IgM
merupakan Ig paling efisien dalam aktivitas komplemen (jalur klasik).
Molekul-molekul IgM diikat oleh rantai J (joining chain) seperti halnya pada
IgA. Kebanyakan sel B mengekspresikan IgM pada permukaannya sebagai reseptor
antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respons imun primer terhadap
kebanyakan antigen dibanding dengan IgG. IgM juga merupakan Ig yang pendominan diproduksi
janin. Kadar IgM yang tinggi dalam darah umbilicus merupakan petunjuk adanya
infeksi intrauterine. Bayi yang baru dilahirkan hanya mengandung IgM 10% dari
kadar IgM dewasa, karena IgM ibu tidak dapat menembus plasenta. Janin umur 12
minggu sudah mulai membentuk IgM bila sel B-nya dirangsang oleh infeksi
intrauterine, seperti sifilis kongenital, rubella, toksoplasmosis dan virus
situmegalo. Kadar IgM anak akan mencapai kadar IgM dewasa pada usia satu tahun.
Kebanyaka
antibody alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibody heterofil
adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme pathogen, memudahkan
fagositosis dan merupakan aglutinator poten antigen. Bila seorang anak
diimunisasi terhadap produk bakteri seperti toksoid, akan diperlukan beberapa
hari sebelum antibody ditemukan dalam darah. Dalam 2-3 hari setelah suntikan
toksoid kedua kali, kadar antibody dalam darah meningkat tajam da mencapai
kadar maksimum uag jauh lebih tinggi dibanding dengan respon primer. Respons
sekunder ditandai oleh respon yang lebih cepat serta yang lebih banyak produksi
antibody. Hal tersebut disebabkan oleh adanya ekspansi sel memori akibat
pemberian toksoiad pertama.
Hal
yang khas terjadi pada respon sekunder: pembentukan immunoglobulin berlangsung
lebih cepat dan untuk waktu yang lebih lama, immunoglobulin mencapai titer
tinggi yang terutama terdiri atas IgG didahului oleh IgM.
D.
Immunoglobulin
D
IgD
ditemukan dalam serum dengan kadar yang sangat rendah. Hal tersebut mungkin
disebakan oleh karena IgD tidak dilepas sel plasma dan sangat rentan terhadap
degradasi oleh proses proteolitik. IgD merupakan komponen permukaan utama sel B
dan petanda dari diferensiasi sel B yang lebih matang. IgD merupakan 1% dari
total imunoglobulin dan ditemukan banyak pada membrane sel B besama IgM yang
dapat berfungsi sebagai resepton antigen pada aktivitas sel B.
IgD
tidak megikat komplemen, mempunyai aktivitas antibody terhadap antigen berbagai
makanan dan autoantigen seperti komponen nucleus. IgD juga diduga dapat
mencegah terjadinya toleransi imun, tetapi mekanisenya belum jelas.
E.
Immunoglobulin
E
IgE
muda diikat oleh sel mast, basophil dan eosinophil yang memiliki reseptor untuk
fraksi Fc dari IgE (Fc
-R). IgE dibentuk setempat
oleh sel plasma dalam selaput lender saluran napas dan cerna. Alrgen yang
diikat silang (cross-linking) oleh dua molekul IgE pada permukaan sel mast akan
menimbulkan influks ion kalsium ke dalam sel. Hal itu menurunkan kadar adenosine
monofosfat siklik (cAMP) intraselular yang menimbulkan degranulasi sel mast.
Selain pada alergi, kadar IgE yang tinggi ditemukan pad infeksi cacing,
skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis dan diduga berperan pada imunitas
parasite.
F.
Superfamily
Imunoglobulin
Berbagai
struktur rantai berat dan ringan immunoglobulin memilki beberapa struktur sama
terutama rantai berat dan ringan yang memilki struktur domain lekukan
immunoglobulin.
Adanya
struktur khas pada semua rantai berat dan ringan menunjukan bahwa gen yang
menyandinya, berasal dari gen primordial yang sama, gen yang menyandi struktur
dasar/polipeptida yang terdiri dari sekitar 10 asam amino. Sejumlah besar
protein membrane telah ditemukan memilki satu atau lebih regio homoloh terhadap
domain immunoglobulin. Masing-masing protein membrane tersebut dibagi sebagai
superfamily immunoglobulin.
Disampin immunoglobulin
sendiri superfamily immunoglobulin terdiri atas:
·
Heterodimer Ig-α/ Ig-β, bagian dari BCR
·
Reseptor poli Ig yang berperan dalam
komponen sekretori IgA dan IgM
·
TCR
·
Protein asesori sel T seperti CD2, CD4,
CD8, CD28 dan rantai α, δ,
dari CD3
·
Molekul MHC-I dan MHC-II
·
Mikroglobulin β2, protein invariant yang
berhubungan dengan MHC-I,
·
Berbagai molekul adhesi seperti VCAM-1,
ICAM-2 dan LFA-3
·
PDGF
Kebanyakan anggota superfamily
immunoglobulin tidak mengikat antigen, jadi ciri struktur lekuk immunoglobulin
yang banyak ditemukan pada protein membrane diduga mempunyai beberapa fungsi
disamping mengikat antigen. Lekuk tersebut diduga memudahkan interaksi antara
protein membrane.
G.
Fungsi
Efektor Antibody-Transitosis
Imunitas
humoral diperankan antibody yang dilepas sel plasma diorgan limfoid dan sumsum
tulang, dan fungsi fisiologisnya adalah pertahanan terhadap mikroba
ekstraselular dan toksinnya. Antibody berperan dalam sejumlah aktivitas
biologis lain yang berakhir dalam eleminasi antigen dan kematian pathogen. Ada
4 fungsi efektor utama yaitu opsonisasi, aktivitas komplemen, ADCC dan proses
transitosis atau menghantarkan melalui lapisan epitel. Tiga proses utama sudah
banyak dijelaskan sebelumnya. Penghantaran antibody kepermukaan mukosa saluran
napas, cerna, kemih dan asi memerlukan gerakan yang menembus lapisan epitel.
Proses tersebut disebut transitosis.npada manusia dan tikus, IgA merupakan antibody
utama yng terlibat dalam transitosis, tetapi juga IgM dapat dihantarkan
kepermukaan mukosa. Transfer IgG dari ibu ke janin merupakan bentuk imunisasi
pasif.
H.
Immunoglobulin
Serebrospinal
Pada
individu normal, immunoglobulin CSS berasal dari plasma melalui difusi sawar
darah-otak. Jumlahnya tergantung dari kadarnya dalam serum dan permeabilitas
sawar darah-otak. IgM biasanya tidak ditemukan oleh karena ukuran molekulnya
yang besar dan kadarnya dalam plasma yang rendah. Namun dalam keadaan tertentu,
seperti penyakit dengan demielinisasi dan infeksi SSP, immunoglobulin dapat
diproduksi secara local.
I.
Efektor
ADCC
IgG
bekerja sama dengan imunitas nonspesifik, dapat merusak antigen sel melalui
interaksi dengan sistem komplemen atau melalui efek sitosolik yang disebut ADCC
dengan sel NK, eosinophil, neutrophil, makrofag yang semuanya memilki Fcγ-R.
Efek ADCC dapat menghancurkan sel tumor, agens infeksi dan sel alogenik melalui
Fc-R, regio Fc dari IgG yang diikat regio Fab pada permukaan antigen sasaran.
Ikatan Fc-R dan regio Fc, menimbulkan destruksi sel sasaran oleh penglepasan
sitokin. ADCC merupakan contoh partisipasi molekul antibody untuk mengacu
fungsi efektor sel nonspesifik.
ADCC
pertama kali digambarkan pada sel NK yang memiliki Fcγ-R, Fcγ-RIII atau molekul
CD16 untuk mengikat sel yang dilapisi antibody. IgG dalam plasma tidak
mengaktifkan sel NK untuk mensitesis dan melepas granulnya dan sitokin seperti
IFN-γ yang semuanya berperan dalam pembuahan sel. Sel NK merupakan efektor dari
ADCC yang tidak hanya merusak sel tunggal, tetapi juga mikroorganisme
multiselular seperti telur skistosoma. Peranan afektor ADCC ini juga penting pada
penghancuran kanker, penolakan transplan dan penyakit autoimun, sedang ADCC
melalui neutrophil dan eosinophil, berperan terhadap infestasi parasite. Kadar
IgG meningkat pada infeksi kronis dan penyakit autoimun.
Melalui
Fcγ-R yang dimilikinya, leukosit dapat mengikat antibody yang melapi sel dan
menghancurkan sel tersebut melalui ADCC. Eosinophil berperan dalam ADCC
terhadap cacing. Cacing terlalu besar untuk dimakan oleh fagosit dan cacing
relative resisten terhadap produk mikrobisidal neutrophil dan makrofag.
Eosinophil dapat membunuhnya dengan MBP yang ada dalam granulnya. IgE melapisi
cacing, selanjutnya eosinophil mengikat IgE melalui Fcε-RI, diaktifkan oleh
induksi sinyal dari Fcε-RI, dan melepas granulnya yang membunuh cacing.
J.
Pengalihan
Kelas
IgM
merupakan immunoglobulin yang pertama kali di produksi sebagai respon imun
terhadap antigen yang diikuti pengalihan ke produksi IgG atau antibody kelas
lain. Hal ini tergantung dari sinyal sel Th yang memerlukan ikatan dengan ligan
CD40 (CD154) di permukaan sel T, dan dengan CD40 di sel B. Di samping itu
sitokin yang diproduksi sel T berpengaru terhadap gen regio konstan yang
menimbulkan pengalihan kelas Ig.
Sel
Th2 memproduksi IL-4 yang menginduksi sel B untuk pengalihan ke produksi IgE.
IL-5 yang juga diproduksi sel T menginduksi sel B untuk pengalihan ke produksi
IgA. IFN-γ yang diproduksi sel Th1 menginduksi pengalihan ke produksi kelas
IgG1 dan IgG3
Sel
B yang dirangsang antigen akan berdiferensiasi menjadi sel yang mensekresi IgM
aau atas pengaruh CD40L dan sitokin, beberapa sel B akan berdiferensiasi menjadi
sel yang memproduksi berbagai kelas rantai berat Ig. Semua kelas dapat
berfungsi untuk menetralisasi mikroba dan toksin.
K.
Interaksi
Antara Antigen-Antibodi
Antigen
adalah bahan yang dapat diikat secara spesifik oleh molekul antibody atau
molekul reseptor pada sel T. Antibodi dapat mengenal hampir setiap molekul
biologic sebagai antigen seperti hasil metabolic hidrat arang, lipid, hormone,
makromolekul kompleks hidrat arang, fosfolipid, asam nukleat dan protein.
Pengenalan
antigen oleh antibody melibakan ikatan nonkovalen dan reversible. Berbagai
jenis interaksi nonkovalen dapat berperan pada ikatan antigen seperti factor
elektrostatik, ikatan hydrogen, interaksi hidrofobik dan lainnya. Kekuatan ikatan
antara satu antibody dan epitope disebut afinitas antibody. Antigen polivalen
mempunyai lebih dari satu determinan. Kekuatan ikatan antibody dengan epitope
antigen keseluruhan disebut afiditas.
Antigen monovalent atau
epitope masing-masing pada permukaan sel,akan berinteraksi dengan masing-masing
ikatan tunggal molekul antibody. Meskipun afinitas interaksi tersebut dapat
tinggi, aviditas keseluruhan adalah rendah. Bila ditemukan banyak determinan
yang cuku dekat pada permukaan sel, satu molekul IgG mengikat 2 epitop
(interaksi bivalen dengan satu molekul IgG) yang menghasilkan aviditas lebih
tinggi. IgM mempunyai 10 ikatan antigen identic yang secara teoritis dalam
interaksi polivalen dapat mengikat secara simultan 10 determinan dengan
aviditas sangat tinggi.
Antibody
merupakan komponen imunitas didapat yang melindungi tubuh terhadap infeksi
mkroorganisme dan produknya yang toksik. Oleh karena itu interaksi antara
antigen dan antibody sangat penting dan banyak digunakan in vitro untuk tujuan
diagnostic. Penggunaan reaksi in vitro antara antigen-antibodi disebut
serologi.
Interaksi
antara antigen dan antibody dapat menimbulkan berbagai akibat Antara lain
presipitasi (bila antigen merupakan bahan larut dalam cairan garam fisiologik),
aglutinasi (bila antigen merupakan bahan tidak larut/partikel-partikel kecil),
netralisasi (toksin) dan aktivasi komplemen. Kebnayakan interaksi tersebut
terjadi oleh adanya interaksi antara antigen multivalent dan antibody yang
sedikitnya memilki 2 tempat ikatan per-molekul.
Titer
antibody adalah pengenceran tertinggi yang menunjukan aglutinasi atau
presipitasi. Untuk menentukan titer antibody, dibuat pengenceran serial serum
dan selanjutnya ditambahkan sejumlah antigen yang konstan dan campuran larutan
tersebut diinkubasikan dan diperiksa untuk aglutinasi/presipitasi.
Serum
dengan kekuatan tertinggi atau tidak diencerkan hanya sedikit atau tidak
menunjukan aglutinasi/presipitasi. Hal itu disebut fenomen prozon disebabkan
oleh antibody berlebihan. Crosslinking atau reaksi silang antigen tidak terjadi
akibat banyaknya antibody. Seiap antigen dapat diikat satu antibody. Hal yang
sama terjadi bila serum sangat diencerkan, juga hanya sedikit atau tidak
menunjukan aglutinasi/presipitasi yang disebut fenomena pos-zona. Daiantara fenomen
prozon dan pos-zona, setiap molekul antibody bereaksi dengan antigen yang
membentuk kompleks basar. Zona ini disebut dengan zona ekuivalen. Kadar antigen
dan antibody dalam zona ini merupakan kadar relative molekul-molekul yang dapat
membentuk kompleks.
L.
Antibody
Monoklonal
Dewasa
ini, produksi antibody identic dalam jumlah besar yang tidak terbatas telah
dimungkinkan (1975). Bila antigen tertentu dimasukan kedalam sistem imun hewan
prcobaan, semua sel B yang mengenal banyak epitope pada antigen akan dirangsang
dan memproduksi antibody. Darah yang diambil dari heawan tersebut akan
mengandung antibody yang multiple yang akan bereaksi dengan setiap epitope.
Serum tersebut disebut poliklonal oleh karena mengandung produk yang berasal
dari banyak klon sel B. memurnikan antibody yang diperlukan dari serum tersebut
sangatlah sulit.
Klon adalah segolongan
sel yang berasal dari satu sel dan karenanya identic secara genetic. Antibody
monoclonal adalah antibody yang diproduksi oleh sel-sel yang berasal dari satu
klon sel. Kloning dapat dilakukan dengan mengencerkan larutan sel demikian rupa
sehingga dalam biakan sel diperoleh sumur yang hanya mengandung satu sel.
Protein
myeloma adalah protein/imuoglobulin yang diproduksi neoplasma sel plasma. Tumor
ini tumbuh tanpa control dan munoglobulin tersebut ditemukan dalam jumlah besar
pada penderita dengan myeloma. Bila sel B tunggal menjadi ganas, semua antibody
adalah identic.
Sel
plasma yang diambil dari darah tidak akan tumbuh dalam biakan jaringan dan akan
mati dalam beberapa hari. Sebaliknya sel myeloma akan tumbuh terus menerus
dalam biakan jaringan. Satu sel plasma dan satu sel myeloma dapat difusikan
menjadi satu sel yang disebut hibridoma yang mempunyai sifat dari ke-2 sel
asalnya dan akan membentuk antibody monoclonal. Dalam antibody monklonal semua
molekulnya adalah identic.
Antibody
monoclonal merupakan bahan standar yang banyak digunakan dalam labolaturium
untuk mengidentifikasi berbagai jenis sel, typing darah dan menegakkan
diagnosis berbagai penyakit. Kemajuan sekarang telah memungkinkan untuk
memproduksi antibody monoclonal manusia melalui rekayasa genetika dalam jumlah
yang besar untuk digunakan dalam terapi berbagai penyakit.
M.
Teori
Seleksi Klon
Teori
seleksi klon merupakan teori seleksi dalam pembentukan antibody yang diusulkan
burnet. Postulasinya ialah adanya sejumlah besar sel yang memproduksi antibody,
dan masing-masing mensitesis antibody yang sudah ditentukan. Setelah sel
dipilih oleh antigen paling sesuai, akan berproliferasi dan memproduksi klon
sel yang akan terus menerus memproduksi antibody yang sama.
Burnet
mengemukakan konsep fobiden clone untuk menerangkan autoimunitas. Sel yang
dapat memproduksi antibody terhadap antigen normal sendiri akan forbidden dan
akan disingkirkan dalam masa hidup embrional. Selama perkembangan janin, klon
yang bereaksi dengan antigen sendiri akan dihancurkan atau ditekan. Aktivasi
klon relative yang ditekan oleh pajanan dengan antigen pada usia lebih lanjut,
akan menginduksi penyakit autoimun.
N.
Sel
B Hibridoma
Sel
hybrid diproduksi melalui fusi sel limpa yangmelepas antibody yang diimunisasi
terhadap antigen tertentu dengan mutan sel myeloma dari spesies tertentu yang
tidak lagi melepas produknya sendiri. Glikopolietilen digunakan untuk fusi
tersebut. Sel mutan myeloma merupakan sel immortal yang memproduksi antibody
monoclonal terus menerus. Sel mutan myeloma tersebut disebut sel hibridoma.
Sistem Komplemen
Komplemen
merupakan sistem yang terdiri atas sejumlah protein yang berperan dalam
pertahanan pejamu, naik dalam sistem inum nonspesifik maupn sistem imun
spesifik. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim serum yang berfungsi
dalam inflamasi, opsonisasi dan kerusakan (lisis) membrane pathogen. Dewasa ini
diketahui sekitar 20 jenis protein yang berperan dalam sistem komplemen.
Komplemen
merupakan molekul larut sistem imun nonspesifik dalam keadaan tidak aktif yang
dapat diaktifkan berbagai bahan seperti LPS bakteri. Komplemen dapat juga
berperan dalam sistem imun spesifik yang setiap waktu dapat diaktifkan kompleks
imun. Hasil aktivasi tersebut menghasilkan berbagai mediator yang mempunyai
sifat biologic aktif dan beberapa diantaranya merupakan merupakan enzim untuk
reaksi berikutnya. Produk lainnya berupa protein pengontrol dan beberapa
lainnya tidak mempunyai aktivitas enzim. Aktivitas komplemen merupakan usaha
tubuh untuk menghancurkan antigen asing, namun sering pula menimbulkan
kerusakan jaringan sehingga merugikan tubuh sendiri.
Ada
9 komponen dasar komplemen yaitu C1 sampai C9 yang bila diaktifkan dipecah menjadi
bagian-bagian yang besar dan kecil (C3a, C4a dsb). Fragmen yang besar dapat
berupa enzim tersendiri dan mengikat serta megaktikan molekul lain. Fragmen
tersebut dapat juga berinterksi dengan inhibitor yang menghentikan reaksi
selanjutnya. Komplemen sangat sensitive terhadap sinyal kecil, misalnya jumlah
bakteri yang sangat sedikit sudah dapat menimbulkan reaksi bruntun yang
biasanya menimbulkan respons local.
A.
Mediator
Yang Dilepas Komplementer
Sistem
komplemen terdiri atas sejumlah protein serum yang tidak tahan panas. Komponen
komplemen biasanya ditemukan dalam bentuk precursor inaktif larut yang bila
diaktifkan, menghasilkan komponen komplemen yang dapat bekerja sebagai enzim,
mengikat beberapa molekul komponen berikutnya dan menimbulkan reaksi beruntun
berupa kaskade. Aktivasi komplemen menghasilkan sejumlah molekul efektor yang
mempunyai efek biologic dan peran dasar pada:
·
Lisis sel, bakteri dan virus
·
Opsonisasi yang meningkatkan fagositosis
partikel antigen
·
Mengikat reseptor komplemen spesifik
pada sel sistem imun sehingga memacu fungsi sel spesifik, inflamasi dan sekresi
molekul imunoregulatori
·
Menyingkirkan komleks imun dari
sirkulasi dan mengendapkannya di limpa dan hati. Contohnya pada penderita LES
yang memproduksi sejumlah besar kompleks imun yang menunjukan kerusakan
jaringan
B.
Aktivasi
Komplemen
Sistem
komplemen yang semula diketahui diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik
dan alternative, sekarang diketahui juga dapat terjadi melalui jalur lektin.
Jalur klasik diaktifkan oleh kompleks imun sedang jalur alternative dan jalur
lektin tidak.
Jalur
lektin diawali dengan pengenalan manosa dari karbohidrat membrane pathogen oleh
lektin dan jalur alternative diawali oleh pengenalan permukaan se lasing
meskipun aktivasi sistem komplemen diawali oleh tiga jalur yang berbeda namun
semua jalur berakhir dalam produksi C3b. pada tingkat akhir dari semua
jalurdibentuk MAC.
1.) Aktivitas
Komplemen Jalur Klasik
Penggunaan
istilah klasik berdasarkan penemuannya yang pertama kali, meskipun aktivasi
jalur klasik terjadi sesudah jalur lainnya. Aktivasi komplemen melalui jalur
klasik dimulai dengan dibentuknya kompleks antigen-antibodi larut atau dengan
ikatan antibody dan antigen pada sasaran yang cocok, seperti sel bakteri.
Aktivasi jalur klasik dimulai dengan C1 yang dicetuskan oleh kompleks imun
antibody dan antigen.
IgM
yang memiliki lima Fc mudah diikat oleh C1. Meskipun C1 tidak memilki sifat
enzim, namun setelah berikatan dengan Fc, dapat mengaktifkan C4 dan C2 yang
selanjutnya mengaktifkan C3. IgM dan IgG1, IgG2, IgG3 (IgM lebih kuat dibanding
dengan IgG) yang membentuk kompleks imun dengan antigen, dapat mengaktifkan
komplemen melalui jalur klasik. Jalur klasik melibatkan 9 komplemen protein
utama yaitu C1-C9. Selama aktivasi, protein-protein tersebut diaktifkan secara
berurutan. Produk yang dihasilkan menjadi katalisator dalam reaksi berikutnya.
Jadi stimulus kecil dapat menimbulkan reaksi aktivasi komplemen berurutan.
Lipid A dan endotoksin, protease, Kristal urat, polinukliotide, membrane virus
tertentu dan CRP dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik.
Permukaan
pathogen tidak memilki inhibitor komplemen. Setiap sel yang tidak dilindungi
oleh inhibitor komplemen akan diserang oleh komplemen. Aktivasi komplemen yang
berlebihan tidak diinginkan oleh karena dapat menimbulkan inflasi dan kematian
sel yang luas. Untuk mencegah itu diperlukan inhibitor komplemen.
2.) Aktivasi
Komplemen Jalur Alternative
Aktivasi
jalur alternative memproduksi produk aktiv seperti halnya dengan jalur klasik,
tetapi untuk awal reaksi tidak diperlukan kompleks antigen-antibodi. Jalur
alternative tidak terjadi melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur
klasik (C1, C4, dan C2). Aktivasi jalur alternative dimulai dengan C3 yang
merupakan molekul yang tidak stabil dan terus menerus ada dalam aktivasi
spontan drajat rendah dan klinis yang tidak berarti. Aktivasi spontan C3 diduga
terjadi pada permukaan sel, meskipun sel normal mengekspresikan inhibitor
permukaan yang mencegah aktivasi C3.
Bakteri
(endotoksin), jamur, virus, parasite, kontras (pada pemeriksaan radiologi),
agregat IgA (IgA1, IgA2), IgG4, dan factor nefritik dapat mengaktivkan
komplemen melalui jalur alternative. Protein tertentu dan lipopolisakarida
dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik dan alternative.
3.) Aktivasi
Komplemen Jalur Lektin
Lektin
adalah protein larut yang mengenal dan mengikat residu manosa dari hidrat arang
yang merupakan bagian dinding sel mikroba. Oleh karena itu jalur lektin disebut
jalur MBL atau jalur ikatan manna. Lektin adalah golongan family kolektin, yang
merupakan protein fase akut dan kadarnya meningkat pada respons inflamasi.
Aktivasi jalur lektin diawali oleh terjadinya ikatan antara polisakarida
mikroba dengan lektin dalam sirkulasi. Seperti hanya dengan C1q, MBL
mengaktifkan kompleks enzim C1r-C1s atau serin esterase yang lain yang disebut
mannose binding protein-associated serine-esterase. Sesudah itu, semua tahap
jalur lektin adalah sama dengan jalur klasik melalui C4.
C.
Reseptor
Komplemen
Aktivasi komplemen jalur alternative dan klasik
menghasilkan beberapa fragmen komplemen yang diikat oleh reseptornya yang
ditemukan pada berbagai jenis sel. C1qR ditemukan pada makrofag yang mengikat
C1q, pada jaringan kolagen dan berperan pada eliminasi antigen. CR2 merupakan
bagian dari kompleks ko-reseptor sel B dan ditemukan juga pada sel dendritic
folikular yang berfungsi dalam fagositosis kompleks imun di senter germinal dan
dalam perkembangan sel memori. CR3 adalah integrin (molekul adhesi) pada
fagosit mononuclear, neutrophil dan sel NK yang fungsinya memudahkan
fagositosis kompleks imun dan migrasi monosit ke jaringan. CR4 adalah integrin
yang memiliki fungsi yang sama dengan CR3 yang terutama diekspresikan pada
makrofag jaringan. Efek biologis yang ditimbulkan ole interaksi reseptor dan
ligannya tergantung dari sel yang mengekspresikan reseptor tersebut.
D.
Fungsi
Biologis Komplemen
1.) Infalamasi
Sebagai
langkah pertama unutuk menhancurkan benda asing dan mikroorganisme serta
membersihkan jaringan yang rusak, tubuh mengarahkan elemen-elemen sistem imun ke
tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk tubuh atau jaringan yang rusak
tersebut.
Fagositosis merupakan
komponen penting pada inflamasi. Dalam proses inflamasi ada 3 hal yang terjadi
yaitu:
a. Peningkatan
pasokan darah ke tempat benda asing, mkroorganisme atau jaringan yang rusak
b. Peningkatan
permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel endotel yang
memungkinkan molekul yang lebih besar seperti antibody
c. Fagositosis
bergerak ke luar pembuluh darah menuju ke tempat benda asing (diapedesis),
mikroorganisme atau jaringan yang rusak. Selanjutnya leukosit, terutama fagosit
polimorfonuklear dan monosit dikerahkan dari sirklasi ketempat benda asing,
mikroorganisme atau jairngan yang rusak.
Peningkatan
permeabilitas vascular yang local terjadi atas pengaruh anafilatoksin (C3a,
C4a, C5a). aktivasi komplemen C3 dan C5 menghasilkan fragmen kecil C3a dan C5a
yang merupakan anafilatoksin yang dapat memacu degranulasi sel mast dan atau
basophil melepas histamine. Histamine yang dilepas sel mast atas pengaruh
komplemen, meingkatkan permeabilitas vascular dan kontraksi otot polos dan memberikan
jalan untuk migrasi sel-sel leukosit dan keluarnya plasma yang mengandung
banyak antibody, opsonin dan komplemen ke jaringan.
2.) Pengerahan
Sel-Kemokin
Kemokin
adalah molekul yang dapat menarik dan mengerahkan sel-sel fagosit.C3a, C5a dan
C5-6-7 merupakan kemokin yang dapat mengerahkan sel-sel fagosit baik
mononuclear maupun polimorfonuklear ketempat terjadi infeksi. C5a adalah
kemoatraktan untuk neutrophil yang juga merupakan anafilatoksin. Makrofag yang
diaktifkan melepaskan berbagai mediator yang ikut berperan dalam reaksi
inflamasi.
3.) Fagositosis-Opsonin
C3b
dan C4b mempunyai sifat opsonin. Opsonin adalah molekul yang dapat diikat di
satu pihak oleh partikel (kuman) dan di lain pihak oleh reseptornya pada
fagosit sehingga memudahkan fagositosis bakteri atau sel lain. C3 yang banyak
diaktifkan pada aktivasi komplemen merupakan sumber opsonin utama (C3b).
Molekul C3b dalam bentuk inaktif (iC3b), juga berperan sebagai opsosnin dalam
fagositosis oleh karena fagosit juga leukosit, pembersihan kompleks imun dan
peningkatan respons imun humoral. Berbagai fragmen komplemen yang dilepas pada
aktivasi jalur alternative dan klasik ikut berperan dalam pertahanan imun.
Disamping pengelepasan fragmen proteolitik, aktivasi komplemen baik jalur
klasik maupun alternative dapat menimbulkan lisis (MAC) dipermukaan sel
bakteri. Memiliki reseptor untuk iC3b.
IgG
dapat berfungsi sebagai opsonin, bila berkaitan dengan reseptor Fc pada
permukaan fagosit. Oleh karena fagosit tidak memilki reseptor Fc untuk IgM,
opsonisasi yang dibantu komplemen merupakan hal yang sangat penting terjadi
respons antibody primer yang didominasi IgM yang merupakan activator komplemen
poten. CRP juga berfungsi sebagai opsonin.
4.) Adherens
Imun
Adherens
imun merupakan fenomena dari partikel antigen yang melekat pada berbagai
permukaan (misalnya permukaan pembuluh darah), kemudian dilapisi antibody dan
mengaktifka komplemen. Akibatnya antigen akan mudah difagositosis. C3b
berfungsi dalam aderens imun tersebut.
5.) Eliminasi
Kompleks Imun
C3a
atau iC3b dapat diendapkan dipermukaan kompleks imun dan merangsang eliminasi
kompleks imun. Baik sel darah merah dan neutrophil memilki CR1-R dan mengikat
C3b dan iC3b. C3 dan C4 ditemukan dalam kompleks imun yang larut. Yang aKhir
diikat oleh CR1-R pada sel darah merah. Selanjutnya sel darah merah mengangkut
kompleks imun yang diikatnya keorgan-organ yang mengandung banyak fagosit
residen (fixed) seperti hati dan limpa. Mealalui reseptor komplemen dan Fc,
fagosit residen tersebut menghancurkan komoleks imun dari sel darah merah. Pada
proses ini, sel darah merah sendiri tidak dirusak.
Neutrophil
dapat menyingkirkan kompleks imun kecil dalam sirkulasi. Bila antigen tidak
larut yang diikat antibody dalam darah tidak disingkirkan, akan memacu
inflamasi dan dapat menimbulkan penyakit kompleks imun. Kompleks besar tidak
larut sulit untuk disingkirkan dari jaringan. Sejumlah besar C3 yang diaktifkan
dapat melarutkan kompleks tersebut. Seperti sudah disebut di atas, penderita
dengan defisiensi komplemen beresiko tinggi terhadap penyakit yang ditimbulkan
kompleks imun seperti LES.
6.) Lisis
Osmotic Bakteri
Aktivasi
C3 ( jalur alternative, klasik dan lektin) akan mengaktifkan bagian akhir dari
kaskade komponen komplemen C5-C9. Aktivasi komplemen yang terjadi dipermukaan
sel bakteri akan membentuk MAC (gabungan C5, C6, C7, C8, dan C9) dan akhirnya
menimbulkan lisis osmotic sel atau bakteri. C5 dan C6 memilki aktivitas enzim
yang memungkinkan C7, C8, dan C9 memasuki membrane plasma dari sel sasaran.
Sekitar 10-16 molekul C9 menimbulkan lubang-lubang kecil dalam membrane plasma
dan mematikan sel. MAC dapat secara langsung menyerang pathogen seperti halnya
dengan perforin pada sel NK.
7.) Neutralisasi
Infeksi Virus
Untuk
kebanyakan virus ikatan antiodi dalam serum dengan subunit protein struktur
virus akan membentuk kompleks imun yang selanjutnya dapat disingkirkan melalui
aktivasi komplemen jalur klasik. Beberapa virus (retro, EBV, Newcastle Disease
Virus dan rubella) dapat mengaktifkan jalur lektin, bahkan jalur klasik tanpa
adanya antibody.
Komplemen
berperan dalam neutralisasi virus melalui berbagai mekanisme. Sebagian
neutralisasi dapat diperoleh melalui pembentukan agregat virus yang besar dan
agregat tersebut dapat menurunkan jumlah akhir partikel virus. Meskipun
antibody berperan dalam agregat virus, studi in vitro menunjukan bahwa C3b
mempermudah pembentukan agregat misalnya virus polioma yang dilapisi antibody
dinetralkan bila serum mengandung C3 yang diaktifkan. Ikatan antibody dan atau
komplemen dengan permukaan partikel virus dapat membentuk protein tebal yang
melapisi virus sehingga terlihat pada pemeriksaan mikroskop elekton. Hal
tersebut dapat mencegah virus menempel dengan sel pejamu yang rentan.
Endapan
antibody komplemen pada partikel virus juga memudahkan pertikel virus diikat
dengan sel yang memiliki Fc atau reseptor untuk komplemen 1 (CR1). Dalam hal
fagosit ikatan tersebut dapat diikuti oleh fagositosis dan pengrusakan
intraselular dari partikel virus dalam sel. Akhirnya komplemen efektif untuk
melisiskan seluruh atau sebagian virus yang terbungkus dan meninggalkan fragmen
dari eventelop dan disinegrasi dari nukleokapsid.
8.) Aktivitas
Sitolik ADCC
Eosinophil
dan sel polimorfonuklear mempunyai reseptor untuk C3b dan IgG sehingga C3b
dapat meningkatkan sitotoksisitas sel efektor ADCC yang kerjanya bergantung
pada IgG. Di samping itu, sel dara merah yang diikat C3b dapat dihancurkan juga
melalui kerusakan kontak (contractual damage). Seperti sudah disebut terdahulu,
C8-9 merusak membrane dengan membentuk saluran-saluran dalam membrane sel yang
menimbulkan lisis osmotic.
9.)
Imunitas Nonspesifik Dan Spesifik
Makrofag
atau neutrophil dapat diaktifkan C5a secara langsung dengan bantuan C3b sebagai
opsonin atau oleh toksin bakteri seperti LPS melalui reseptor TCR atau melalui
fagositosis. Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediator larut seperti
IL-1, TNF yang meningjatkan respons inflamasi, ekspresi molekl adhesi untuk
neutrophil dipermukaan sel endotel, permeabilitas, kemotaksis dan aktifitas sel
PMN sendiri. Aktivitas komplemen dan makrofag memberikan gambaran respons
selular yang berperan pada inflamasi akut. Sitotoksisitas sel NK yang memiliki
reseptor untuk komplemen juga dapat ditingkatkan. Komplemen juga berperan dalam
imunitas spesifik oleh karena aktivasi mekrofag meningkatkan jumlah APC yang
mempresentasikan antigen ke sel T.
E.
Regulator-Inhibitor
Komplemen
Protein dalam serum yang merupakan komponen pada
aktivasi komplemen, baik pada jalur klasik maupun alternative dibentuk oleh
hati, makrofag, monosit dan sel epitel intestinal. Bahan-bahan tersebut dilepas
kedalam serum dalam bentuk tidak aktif.
Pada tahap penglepasan mediator terdapat mekanisme
tubuh untuk menetralkan yang disebut regulator, sehingga tidak akan terjadi
reaksi yang berlangsung terus menerus yang dapat menimbulkan kerusakan
jaringan. Sistem enzim yang kompleks ini diatur oleh beberapa penyekat protein
yang dapat mencegah aktivasi premature dan aktivitas setiap produk.
Contohnya adalah:
·
Protein kofaktor membrane, reseptor
komlemen tipe 1, ikatan protein C4b dan factor H yang mencegah pembentukan
konvertase C3
·
DAF yang memacu pengrusakan konvertase
C3
·
Inhibitor C1
·
Factor I dan protein kofactor membrane
yang mengikat C3b dan C3a atau iC3b C4b
·
CD59 (protektin) yang mencegah
pembentukan MAC
·
Inaktivator anafilatoksin
F.
Defisiensi
Komplemen
Defisiensi penyekat esterase C1 (C1 INH) menimbulkan
aktivasi C4 dan C2 oleh C1 terjadi terus menerus sehingga terjadi lebih banyak
fragmen yang kemudian diaktifkan plasmin dan membentuk peptide vasoaktif.
Stimulus kecil yang mengaktifkan C1 dapat menimbulkan respons besar yang tidak
dapat dikendalikan. Penderita dengan defisiensi C1 INH menunjukan edem
diberbagai alat badan seperti kulit, saluran cerna dan napas. Edem berat yang
terjadi di larings dan saluran napas dapat menimbulkan kematian.
Defisiensi pada stadium dini jalur lektin dan klasik
menimbulkan hipersensitivitas Tipe 3 (kompleks imun) oleh karena kompleks imun
tidak dapat dicairkan atau diantarkan ke fagosit dan menimbulkan penyakit
seperti LES. Kadar rendah komponen komplemen juga dapat menimbulkan penyakit
infeksi bakteri rekuren, sebagian oleh karena sistem imun nonspesifik
diperlukan untuk menyingkirkan bakteri atas bantuan peran komplemen (antara
lain sebagai opsonin) pada awal antibody diproduksi. Defisiensi MAC merupakan
resiko yang lebih tinggi terhadap infeksi neiseria.
Hemoglobinuria paroksismal nocturnal terjadi oleh
pengahancuran sel darah merah melalui jalur alternative yang disebabkan oleh
karena ada defisiensi DAF pada membrane sel. Fungsi DAF tersebut menghambat
aktivasi komplemen melalui jalur alternative dan terjadinya konverase C5.
Defisiensi komplemen jarang terjadi dan gejalanya tergantung dari lokasi defek.
Efek biologis yang terjaid melalui komplemen dan reseptor ikatan komplemen.
Reaksi Antigen Dengan Antibody In
Vitro
A.
Interaksi Antigen Dan Antibodi
Pengenalan antigen oleh antibodi melibatkan ikatan
nonkovalen dan reversibel. Beberapa jenis ikatan kovalen berperan pada ikatan
antigen seperti faktor elektrostatik, ikatan hidrogen, interaksi hirofobik, dan
lainnya. Keuatan ikatan antara satu antibodi dengan dengan epitop disebut
afinitas antibodi. Antigen polivalen mempunyai lebih dari satu determinan.
Kekuatan ikatan antibodi dengan epitop antigen secara
keseluruhan disebut aviditas. Antigen monovalen atau epitop masing-masing pada
permukaan sel akan
berinteraksi
dengan masing-masing ikatan tunggal molekul antibodi. Meskipun afinitas interaksi
tersebut dapat tinggi, aviditas keseluruhan adalah rendah. Bila ditemukan
banyak determinan yang cukup dekat, pada permukaan sel, satu molekul IgG
mengikat 2 epitop (interaksi bivalen dengan 1 molekul IgG) yang menghasilkan
aviditas lebih tinggi. IgM mempunyai 10 ikatan antigen identik yang secara teoritis
dalam interaksi polivalen dapat mengikat secara simultan 10 determinan dengan
aviditas sangat tinggi.
Antibodi merupakan komponen imunitas didapat yang melindungi
tubuh terhadap infeksi mikroorganisme dan produknya yang toksik. Oleh karena
itu, interaksi antara antigen dan antibodi sangat penting dan banyak digunakan
in vitro untuk tujuan diagnostik. Penggunaan reaksi in vitro antara antigen
antibodi disebut serologi. Interaksi antigen-antibodi dapat menimbulkan
berbagai akibat, antara lain:
1) Presiptasi, terjadi apabila antigen
merupakan bahan larut dalam caira garam fisiologik
2) Aglutinasi, terjadi apabila antigen
merupakan bahan tidak larut atau partikel-partikel kecil.
3) Netralisasi, terutama pada toksin
4) Aktivasi Komplemen, kebanyakan
reaksi tersebur terjadi karena adanya interaksi antar gen multivalent dengan
antibody yang sedikitnya mempunyai 2 tempat ikatan per-molekul.
Titer
antibodi menunjukkan pengenceran tertnggi yang menunukkan presipitasi atau aglutinasi.
Untuk menentukan titer antibodi, dibuat pengenceran serial serumdan selanjutnya
ditambahkan sejumlah antigen yang konstan dan campuran larutan tersebut
diinkubasikan. Selanjutnya diperiksa untuk aglutinasi/ presipitasi.
Serum dengan kekuatan tinggi atau
tidak diencerkan hanya sedikit atau tidak menunjukkan aglutinasi/presipitasi.
Hal itu disebut fenomen prozon akibat adanya antibody berlebihan. Crosslinking
antigen tidak terjadi oleh karena akibat banyaknya antibodi, setiap antigen
dapat diikat satu antibodi.
Hal yang
sama terjadi bila serum sangat diencerkan, juga hanya sedikit atau tidak menunjukkan
aglutinasi/presipitasi yang disebut fenomen post zone. Di antara fenomen prozon
dan post zone, setiap molekul antibodi bereaksi dengan antigen yang membentuk kompleks
besar. Zona ini disebut zona ekuivalen. Kadar antigen dan antibodi dalam zona
ini tidak sama, tetapi merupakan kadar relatif molekul-molekul yang dapat
membentuk kompleks.
Reaksi Kekebalan
Sistem
kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis
yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Sistem kekebalan tubuh dirancang untuk
pertahanan tubuh melawan benda asing atau zat-zat kimia berbahaya yang
menyerang. Beberapa zat-zat termasuk mikroorganisme (biasanya disebut kuman,
seperti bakteri, virus, dan jamur), parasit (seperti cacing), sel kanker, dan
bahkan organ dan jaringan yang ditransplantasi. Zat-zat yang merangsang reaksi
kekebalan di dalam tubuh disebut antigen. Antigen bisa juga ada dengan
sendirinya-misal, sebagai polen atau molekul makanan. Reaksi kekebalan normal
terdiri dari mengenali antigen benda asing, mengerahkan kekuatan untuk bertahan
melawan benda asing itu, dan menyerangnya.
Gangguan
pada sistem kekebalan terjadi:
1) Ketika
tubuh menghasilkan reaksi kekebalan melawan dirinya sendiri (gangguan autoimun)
2) Ketika
tubuh tidak dapat menghasilkan reaksi kekebalan yang tepat melawan serangan
mikroorganisme (gangguan immunodefisiensi)
3) Ketika
reaksi kekebalan normal terhadap antigen benda asing merusak jaringan-jaringan
normal (reaksi alergi).
A.
Fungsi
Sistem Imun
Sistem imun memiliki beberapa fungsi bagi tubuh, yaitu
sebagai:
1) Pertahanan
Tubuh, yaitu menangkal bahan berbahaya agar tubuh tidak sakit, dan jika sel-sel
imun yang bertugas untuk pertahanan ini mendapatkan gangguan atau tidak bekerja
dengan baik, maka orang akan mudah terkena sakit.
2) Keseimbangan, atau fungsi homeostatik artinya
menjaga keseimbangan dari komponen tubuh.
3) Perondaan, sebagian dari sel-sel
imun memiliki kemampuna untuk memantau ke seluruh bagian tubuh. Jika ada
sel-sel tubuh yang mengalami mutasi maka sel peronda tersebut akan
membinasakannya.
B. Macam-macam Sistem Kekebalan Tubuh
Sistem kekebalan tubuh manusia
dibagi 2, yaitu kekebalan tubuh tidak spesifik dan kekebalan tubuh spesifik.
·
Sistem
Kekebalan Tubuh Non Spesifik
Kekebalan tubuh nonspesifik merupakan sistem
kekebalan terhadap berbagai jenis benda asing yang membahayakan secara tidak
selektif. Sistem kekebalan nonspesifik akan menyerang dan menghancurkan semua
benda asing yang masuk ke dalam tubuh tanpa menyeleksi satu benda asing
tertentu. Sistem kekebalan ini memiliki reaksi yang aman terhadap semua jenis
benda asing dan tidak memiliki kemampuan untuk mengingat infeksi yang terjadi
sebelumnya.
ü Proses Pertahanan Tubuh Non Spesifik
Tahap Pertama
Proses
pertahanan tahap pertama ini bisa juga diebut kekebalan tubuh alami. Tubuh
memberikan perlawanan atau penghalang bagi masuknya patogen/antigen. Kulit
menjadi penghalan bagi masuknya patogen karena lapisan luar kulit mengandung
keratin dan sedikit air sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Air mata
memberikan perlawanan terhadap senyawa asing dengan cara mencuci dan melarutkan
mikroorganisme tersebut. Minyak yang dihasilkan oleh Glandula Sebaceae
mempunyai aksi antimikrobial. Mukus atau lendir digunakan untuk memerangkap
patogen yang masuk ke dalam hidung atau bronkus dan akan dikeluarkjan oleh
paru-paru. Rambut hidung juga memiliki pengaruh karenan bertugas menyaring
udara dari partikel-partikel berbahaya. Semua zat cair yang dihasilkan oleh
tubuh (air mata, mukus, saliva) mengandung enzimm yang disebut lisozim. Lisozim
adalah enzim yang dapat meng-hidrolisis membran dinding sel bakteri atau
patogen lainnya sehingga sel kemudian pecah dan mati. Bila patogen berhasil
melewati pertahan tahap pertama, maka pertahanan kedua akan aktif.
ü Proses Pertahanan Tubuh Non Spesifik
Tahap Ke Dua
Inflamasi
merupakan salah satu proses pertahanan non spesifik, dimana jika ada patogen
atau antigen yang masuk ke dalam tubuh dan menyerang suatu sel, maka sel yang
rusak itu akan melepaskan signal kimiawi yaitu histamin. Signal kimiawi
berdampak pada dilatasi (pelebaran) pembuluh darah dan akhirnya pecah. Sel
darah putih jenis neutrofil, acidofil dan monosit keluar dari pembuluh darah
akibat gerak yang dipicu oleh senyawa kimia (kemokinesis dan kemotaksis).
Karena
sifatnya fagosit, sel-sel darah putih ini akan langsung memakan sel-sel asing
tersebut. Peristiwa ini disebut fagositosis karena memakan benda padat, jika
yang dimakan adalah benda cair, maka disebut pinositosis. Makrofag atau monosit
bekerja membunuh patogen dengan cara menyelubungi patogen tersebut dengan
pseudopodianya dan membunuh patogen dengan bantuan lisosom. Pembunuh dengan
bantuan lisosom bisa melalui 2 cara yaitu lisosom menghasilkan senyawa racun
bagi si patogen atau lisosom menghasilkan enzim lisosomal yang mencerna bagian
tubuh mikroba. Pada bagian tubuh tertentu terdapat makrofag yang tidak
berpindah-pindah ke bagian tubuh lain, antara lain: paru-paru (alveolar
macrophage), hati (sel-sel Kupffer), ginjal (sel-sel mesangial), otak (sel–sel
microgial), jaringan penghubung (histiocyte) dan pada nodus dan spleen.
Acidofil/Eosinofil berperan dalam menghadapi parasit-parasit besar.
Sel ini
akan menempatkan diri pada dinding luar parasit dan melepaskan enzim penghancur
dari granul-granul sitoplasma yang dimiliki. Selain leukosit, protein
antimikroba juga berperan dalam menghancurkan patogen. Protein antimikroba yang
paling penting dalam darah dan jaringan adalah protein dari sistem komplemen
yang berperan penting dalam proses pertahan non spesifik dan spesifik serta
interferon. Interferon dihasilkan oleh sel-sel yang terinfeksi oleh virus yang
berfungsi menghambat produksi virus pada sel-sel tetangga. Bila patogen
berhasil melewati seluruh pertahanan non spesifik, maka patogen tersebut akan
segera berhadapan dengan pertahanan spesifik yang diperantarai oleh limfosit.
Sistem
kekebalan tubuh nonspesifik terdiri atas berbagai macam komponen yang akan
berekasi dalam menahan dan menagkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Komponen-komponen tersebut antara lain rintangan mekanisme, rintangan kimiawi,
sel darah putih, protein komplemen, interferon demam dan radang.
a. Rintangan Mekanisme
Rintangan mekanisme merupakan baris pertahanan tubuh yang
pertama. Rintangan ini umumnya terletak di bagian permukaan tubuh. Tujuan utama
dari rintangan ini adalah untuk mencegah benda asing masuk ke dalam tubuh.
Rintangan mekanisme terdiri atas kulit, selaput lendir dan rambut-rambut halus.
b. Rintangan Kimiawi
Rintangan kimiawi umumnya berupa hasil sekresi dari kelenjar
yang ada dalam tubuh atau berupa mikroorganisme yang ada di permukaan tubuh.
c. Sel Darah Putih
Sel darah putih merupakan garis pertahanan tubuh yang kedua.
Apabila benda asing berhasil melewati baris pertahanan pertama dan masuk ke
dalam tubuh, maka sel darah putih akan mengalami tindakan untuk mencegah benda
asing masuk lebih jauh lagi ke dalam tubuh. Sel darah putih akan menghancur
setiap benda asing yang masuk ke dalam tubuh dengan cara memakannya. Proses
tersebut dengan fagositosis.
d. Protein Komplemen
Protein
komplemen merupakan protein darah yang bertindak sebagai pembantu sistem
pertahanan kedua, dalam hal ini membantu sel darah putih. Protein komplemen
membantu sistem kekebalan tubuh dengan berbagai cara antara lain sebagai
berikut:
ü Menghasilkan opsonin, kemotoksin dan
kinin.
ü Berperan dalam proses menghancurkan
membran sel mikroorganisme yang menyerang tubuh.
ü Menstimulasi sel darah putih agar
menjadi lebih aktif.
e. Interferon
Ketika
tubuh kita terserang virus, maka beberapa sel di dalam tubuh akan mengsekresi
sekumpulan protein yang disebut interferon. Interferon akan bertindak sebagai antivirus
dan bereaksi dengan sel yang belum yang terinfeksi oleh virus. Interveron juga
ada dapat merangsang linfosit tertentu untuk menghancurkan dan menumbuh sel-sel
yang telah terinfeksi virus.
f. Demam dan radang
Demam
merupakan suatu keadaan di mana suhu tubuh melebihi suhu tubuh melebihi susu
normal. Sedangkan radang merupakan respon atau tanggapan terhadap kerusakan
sel-sel tubuh akibat infeksi bakteri, virus, zat kimia, atau benturan dengan
gejala berupa rasa sakit, panas dan bengkak.
·
Sistem
Kekebalan Tubuh Spesifik
Kekebalan
tubuh sepesifik merupakan sistem kekebalan terhadap berbagai jenis benda asing
yang membahayakan secara selektif. Sistem kekebalan spesifik akan menyerang dan
menghancurkan benda asing yang masuk ke dalam tubuh dengan menyeleksi satu
benda asing tertentu. Sistem kekalahan ini memiliki reaksi yang tidak sama
terhadap semua jenis benda asing dan memiliki kemampuan untuk mengingat infeksi
yang terjadi sebelumnya.
Sistem kekebalan tubuh spesifik
melibatkan membantu sel-sel tertentu dan zat kimia yang disebut antibody.
Sisiem kekebalan spesifik merupakan baris pertahanan tubuh yang ketiga yang
melibatkan antigen, heptan dan anti bodi.
a.
Antigen
Antigen
adalah zat kimia asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat merangsang
terbentuknya antibody. Antigen memiliki struktur tiga dimensi dengan dua atau
lebih determinant site. Determinant site merupakan bagian dari antigen
yang dapat melekat pada bagian sisi pengikatan dari antibody.
b.
Heptan
Suatu
determinan set (sisi penentu) pada antigen dapat lepas Karena suatu hal.
Derteminan set yang lepas tersebut dikenal dengan nama heptan.
c.
Antibody
Antibody
merupakan zat kimia yang dapat mengidentifikasi antigen. Antibody disebut juga
imunoglobin. Imunogobin umumnya terdapat pada permukaan sel limfosit B.
Limfosit diproduksi di dalam sumsum tulang dan terdiri atas dua jenis, yaitu
limfosit B dan limfosit T. Limfosit B dibentuk dan tumbuh di dalam sumsum
tulang belakang limfosit T di bentuk di dan sumsum tulang kemudian tumbuh dan
berkembang di dalam kelenjar timus yang terletak di bawah tulang dada di atas
jantung.
Hipersensitivitas
Respon
imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh,
berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang
disebut dengan reaksi hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang
bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi
hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau
sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe
reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II,
III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs
menjadi tipe IVa dan IVb.
A. Pembagian
Reaksi Hipersensitivitas Menurut Gell Dan Combs
1.)
Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitifitas
tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi
ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan
saluran gastrointestinal. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun
1906 yng berasal dari alol (Yunani) yang berarti perubahan dari asalnya yang
dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan reaktivitas organisma. Reaksi ini
dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidak nyamanan kecil
hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar
antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12
jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen
seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini
diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik
yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit
(tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE
spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang
dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit
non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll.
Pada reaksi tipe I, allergen yang masuk kedalam tubuh
menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penykit alergi seperti rintis
alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi Tipe I sebagai
berikut:
·
Fase Sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada
permukaan sel mast/basophil.
·
Fase Aktivasi, yaitu waktu yang dibutuhkan antara
pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basophil melepas isinya
yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan
silang Antara antigen dan IgE.
·
Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang
kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel
mast/basophil dengan aktivitas farmakologik
2.)
Hipersensitivitas Tipe II atau Sitotoksik atau Sitolitik
Hipersensitivitas
tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau
sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara
antibody dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membrane sel
tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolism sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi
disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibody tersebut dapat mengaktifkan
sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai
sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat
menunjukan berbagai manifestasi klinik.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas
tipe II adalah:
·
Reaksi Transfuse (sejumlah besar protein dan
glikoprotein pada membrane SDM disandi oleh berbagai gen)
·
Anemia Hemolitik (dipicu
obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah
merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan
dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah),
·
Penyakit Hemolitik Bayi Baru Lahir (ditimbulkan oleh inkompatibilitas
Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negative dan
janin dengan Rhesus positif.
Hipersensitivitas
dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
3.)
Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas
tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya
pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam
jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar
dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang,
kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran,
atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi
antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks
antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita
penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar
pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam
bagian koroid pleksus otak
Patogenesis
kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan
antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya
artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam
dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya
kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi
Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan
sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei
pada paru-paru pembuat keju.
Reaksi
Tipe III mempunyai 2 bentuk reaksi:
·
Reaksi Local atau Fenomena Arthus
Arthus
yang menyuntikan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulang kali ditempat
yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat ditempat suntikan. Mula-mula
hanya terjadi eritem ringa dan edem dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi
tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edem yang
lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan pendarahan dan nekrosis yang
sulit sembuh. Hal tersebut disebut fenomena Arthus yang merupakab bentuk reaksi
dari imun kompleks imun. Antibody yang ditemukan adalah jenis presipitin.
·
Sistemik-Serum Sickness
Antigen
dalam jumlah besar yang masuk kedalam sirkulasi darah dapat membentuk kompleks
imun. Bila antigen jauh berlebihan dibanding antibody, kompleks yang dibentuk
adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk dibersihkan fagosit sehingga dapat
menimbulkan kerusakan jaringam Tipe III di berbagai tempat.
4.)
Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas
tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk
aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
A.
Fase
Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada
permukaan sel mast dan basofil.
B.
Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
(Baratawidjaja, 2006).
·
Delayed
type hypersensitivity tipe iv
Reaksi
tipe iv merupakan hiper sensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi terhadp
bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam
rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit. Pada beberapa fase pada
respon tipe iv yang dimulai dengan pase sensitasi yang membutuhkan1-2 minggu
setelah kontak primer dengan antigen. Dalam fase itu, Th diaktifkan oleh APC
melalui MHC-II.
Rekasi
khas DTH seperti respon imun linnya mempunyai 2 fase yang dibedakan yaitu fase
sensitasi dan fase efektor.
·
Sitokin
yang berperan pada DTH
·
Manifestasi
klinis reaksi tipe iv
a.
Dermatitis
kontak
b.
Hipersensitivitas
tuberculin
c.
Reaksi
junes mote
d.
T
Cell mediated cytolysys (penyakit CD8+)
B. Pembagian
Reaksi Hipersensitivitas Menurut Waktu Timbulnya Reaksi
1.)
Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam
2 jam. Ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast
menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa
anafilaksis sistemik atau anafilaksis local.
2.)
Reaksi Intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan
mengilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan
kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi
reaksi intermediet dapat berupa:
·
Reaksi
transfuse darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.
·
Reaksi
arthus local dan sistemik seperti serum sickness, vasculitis nekrotis,
glomerulonephritis, artritis rheumatoid, dan LES
Reaksi
intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh
sel neutrophil atau sel NK.
3.)
Reaksi Lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi
pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DHT, sitokin
yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan
jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M, TBC dan
reaksi penolakan tandur.
PENUTUP
BAB III
3.1 Kesimpulan
Sistem imun
adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan
organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar,
sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan
melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan
patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam
tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena
beberapa jenis kanker.
3.2 Saran
Agar dalam
penyusunan makalah ini bisa memberikan manfaat yang besar maka penulis
menyarankan kepada pembaca untuk:
·
Menjaga pola hidup yang sehat agar tidak
mudah terserang penyakit
·
Memperhatikan setiap makanan yang akan
dikonsumsi
Memelihara lingkungan
yang bersih dan sehat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar