BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawat perlu menyadari bahwa semua
tindakan keperawatan dilaksanakan dalam bentuk komunikasi (nonverbal/verbal).
Oleh karena itu, perawat mengetahui fungsi komunikasi dan sikap serta
keterampilan yang perlu dikembangkan dalam komuikasi dengan klien. Hal-hal yang
harus kita lakukan saan berhadapan dengan pasien.
Komunikasi merupakan suatu proses karena melalui komunikasi
seseorang menyampaikan dan mendapatkan respon. Komunikasi dalam hal ini
mempunyai dua tujuan, yaitu: mempengaruhi orang lain dan untuk mendapatkan
informasi. Akan tetapi, komunikasi dapat digambarkan sebagai komunikasi yang
memiliki kegunaan atau berguna (berbagi informasi, pemikiran, perasaan) dan
komunikasi yang tidak memiliki kegunaan atau tidak berguna
(menghambat/blok penyampaian informasi atau perasaan). Keterampilan
berkomunikasi merupakan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang untuk
membangun suatu hubungan, baik itu hubungan yang kompleks maupun hubungan yang
sederhana melalui sapaan atau hanya sekedar senyuman. Pesan verbal dan
nonverbal yang dimiliki oleh seseorang menggambarkan secara utuh dirinya,
perasaannya dan apa yang ia sukai dan tidak sukai. Melalui komunikasi seorang
individu dapat bertahan hidup, membangun hubungan dan merasakan kebahagiaan.
Keterampilan berkomunikasi merupakan critical skill yang
harus dimiliki oleh perawat, karena komunikasi merupakan proses yang dinamis
yang digunakan untuk mengumpulkan data pengkajian, memberikan pendidikan atau
informasi kesehatan-mempengaruhi klien untuk mengaplikasikannya dalam hidup,
menunjukan caring, memberikan rasa nyaman, menumbuhkan rasa percaya
diri dan menghargai nilai-nilai klien. Sehingga dapat juga disimpulkan bahwa dalam
keperawatan, komunikasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan.
Seorang perawat yang berkomunikasi secara efektif akan lebih mampu dalam
mengumpulkan data, melakukan tindakan keperawatan (intervensi),
mengevaluasi pelaksanaan dari intervensi yang telah dilakukan, melakukan
perubahan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah terjadinya masalah- masalah
legal yang berkaitan dengan proses keperawatan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
penggunaan diri secara efektif dalam komunikasi terapeutik?
2. Apa
saja tahap dalam komunikasi terapeutik?
3. Bagaimana
penggunaan yang tepat dan kurang tepat dalam komunikasi terapeutik?
1.3 Tujuan
1. Untuk
memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengajar keperawatan dasar
2. Untuk
menambah wawasan tentang komunikasi terapeutik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengunaan Diri Secara Efektif dalam
Komunikasi Terapeutik
Komunikasi
merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu
untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi
terjadi pada tiga tingkatan yaituintrapersonal, interpersonal, dan public.
Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg
(1990), Szilagyi (1984), dan Tappen
(1995) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis, dan nonverbal yang
dimanifestasikan secara terapeutik. Pada komunikasi yang tertulis sering
digunakan perawat saat berinteraksi dengan dokter, petugas kesehatan lainnya,
dan teman sejawat.
A.
Menghadirkan
Diri
Perawat
harus hadir secara utuh (fisik dan psikologis) sewaktu berkomunikasi dengan
klien. Perawat tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi
komunikasi, tetapi yang sangat penting adalah penampilan dalam berkomunikasi.
Menghadirkan diri ini terdiri dari menghadirkan diri secara fisik dan secara
psikologis.
Kehadiran
fisik perawat berarti kebersamaan perawat dalam berkomunikasi dengan klien,
yaitu mendengar, mengamati, serta memberikan perhatian terhadap apa yang
dikatakan dan bagaimana perilaku klien. Kehadiran fisik yaitu perhatian yang
diberikan melalui penampilan tubuh, hal ini penting dalam komunikasi
interpersonal karena tubuh dapat memperkuat pesan yang disampaikan dalam bentuk
kata-kata.
Haber J. mengidentifikasi
lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik:
1) Berhadapan,
artinya menghadap klien dengan jujur dan terbuka yaitu sikap tubuh dan wajah
menghadap ke klien. Arti dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”
2) Mempertahankan kontak mata,
berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi
3) Membungkuk ke arah klien,
posisi ini menunjukan keinginan atau mendengar sesuatu
4) Mempertahankan sikap terbuka,tidak
melipak kaki atau tangan, tetapi mempertahankan posisi tangan disamping atau
dalam posisi terbuka lainnya, menunjukan keterbukaan dalam berkomunikasi.
5) Tetap rileks,
dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam merespon
klien
Adapun
fungsi komunikasi dalam pembuatan asuhan keperawatan menurut Engel dan Morgen yaitu:
1. Komunikasi dapat membina hubungan
saling percaya dengna klien
2. Komunikasi dapat menetapkan peran
dan tanggungjawab antara perawat-klien
3. Komunikasi juga memudahkan kita
untuk mendapat data yang tepat dan akurat dari klien.
B.
Dimensi Respon
1. Kesejatian/keikhlasan
Saat memberikan pelayanan
keperawatan/kesehatan seharusnya menghilangkan perasaan-perasaan tertentu
(tanpa pamrih), yang ada hanya bagaimana memberikan pelayanan yang baik dan
murni berdasarkan apa yang dilihat, persepsi, dan intuisi untuk mempercepat kesembuhan.
Perawat harus mampu meninggalkan sikap berpura-pura serta mengekspresikan
perasaan yang sebenarnya dan spontan.
Bekerja dengan ikhlas merupakan
kegiatan yang dilandasi sikap jujur, tulus, dan berperan aktif dalam
berhubungan dengan klien. Dengan demikian melaksanakan tindakan keperawatan
harus dilandasi dengan sikap tulus dan jujur serta selalu aktif dalam
memberikan pelayanan keperawatan selagi klien membutuhkan, dengan harpan
keluhan yang dirasakan klien secepat mungkin dikurangi sehingga akan mempercepat
kesembuhan.
Dalam memandang klien, perawat perlu
kiranya memandang dan menerima klien apa adanya. Memandang klien yang
membutuhkan pertolongan tanpa melihat siapa dia. Kesejatian akan hilang apabila
perawat memandang orang lain atau klien mempunyai kekuatan yang lebih besar
sehingga dirinya dikuasai seseorang atau klien tersebut. Perawat seharusnya
memandang klien sebagai pasien yang membutuhkan penanganan serius untuk
menghilangkan keluhannya sehingga menyingkirkan semua hal yang mengganggu hubungan
dengan klien.
Selain itu, kesejatian juga
dipengaruhi oleh kepercayaan diri. Dengan kepercayaan diri, orang mempu
menunjukan kesejatiannya walaupun dalam kondis yang tak nyaman, tetapi biasnya
beresiko karena ada situasi yang menutuoi kelemahannya. Waktu yang kurang cukup
juga mengakibatkan seseorang tidak mampu menunjukan kesejatiannya karena
tergesa-gesa yang disebabkan dikejar-kejar waktu. Apa yang akan disampaikan
menjadi tidak lengkap dan tidak menutup kemungkinan menjadi bias. Tingkat
profesionalitas dalam menjalankan profesinya sangat diuji dalam ranah
kesejatian/keikhlasan ini karena perawat harus mampu menjaga image profesi
perawat daripada perasaan pribadi. Apa yang dilihat perawat harus dilihat dari
sisi yang seesungguhnya, dan kalaupun klien perlu segera diberi tindakan
keperwatan, seharusnya perawat tidak menunda, apalai mengesampingkan.
Kesejatian/keihklasan ditunjukan dengan adanya kesamaan antara verbal dan
nonverbal (kongruen) (Smith dalam Nurjanah, I, 2001).
2. Respek/hormat
Merupakan sikap yang peduli dan
menghargai terhadpa semua kebutuhan klien. Sikap peduli ditunjukan dengan
selalu memperhatikan keluhan klien yang dipahami sebagai hal yang unik tetapi
menarik, dengan prinsip perawat memang bekerja untuk mempercepat kesembuhan
klien dengan selalu siap sedia untuk melayani klien. Apapun sikap yang
ditampilkan klien, perawat selalu tersenyum dan bersemangat, menampakan
kesiapsediaan dan selalu melakukan pendekatan dalam rangka menyelesaikan
masalah klien.
Nilai esensial dari perilaku yang
ditampilkan klien diterjemahkan perawat sebagai nilai berharga untuk dijadikan
bekal dalam menjalankan proses keperawatan. Respek yang ditunjukan berarti
perawat menerima klien tanpa syarat (Stuart & Sundeen, 1995). Perilaku yang
ditampilkan klien diterima tanpa ada perasaan keraguan dan meyakini perilaku
klien tanpa memanipulasi. Pemberian pelayanan yang tak tebagi membuat klien
merasa terlayani dan meningkatkan rasa optimis akan kesembuhan penyakitnya.
Pengertian sikap respek menurut
Susan Smith dalam Nurjanah, I, (2001) adalah sebagai berikut:
a. Kesediaan bekerja untuk klien
b. Menunjukan sikap sedia
c. Ketertarikan pada masalah klien
d. Memahami keunikan
e. Melakukan pendekatan penyelesaian
masalah
3. Konkret
Pembahasan yang dilakukan perawat
akan masalah klien harus menggunakan terminology yang spesifik dengan mendorong
klien untuk mengutarakan keluhan yang dirasakan secara akuntabel sehingga
menghilangkan keraguan dan ketidakjelasan. Konkret berarti perkataan yang
jelas, akurat, tidak membingungkan, dan mudah dimengerti. Hal iniberarti
mendiskusikan apa yang terjadi pada klien merupakan hal yang sesungguhnya,
bersifat spesifik, dan bukan abstrak. Hal-hal yang didiskusikan antaralain
mengenai perasaan, pengalaman, dan tingkah laku. Dengan demikian fungsi dari
dimensi konkret ini, menurut Stuart & Sundeen dalam Nurjanah, I, (2001)
adalah dapat mempertahankan respons perawat terhadap perasaan klien, penjelasan
akurat tentang masalah akan mendorong klien memikirkan masalah yang spesifik.
Teknik komunikasi memfokuskan,
konfrontasi, dan validasi menjadikan klien membicarakan yang konkret/nyata dan
mendorong klien untuk memikirkan masalah yang spesifik. Pembahasan secara
konkret berarti pembahasan mengenai keluhan/masalah utama yang dirasakan tanpa
mendapat gangguan dari aspek lain. Dengan dimensi konkret, klien merasa sebagai
subjek dan bukan objek dalam proses komunikasi. Keterlibatan klien lebih
menonjol dengan perawat sebagai pendengar yang baik dan bertugas menyimpulkan
masalah klien.
Perawat hanya berkepntingan ingin
mendapatkan data akurat dan orisinil dari klien. Dengan menjadikan klien
sebagai subjek, maka kegiatan komunikasi banyak didominasi oleh klien dan bukan
sebaliknya. Klien mengutarakan keluhan utamanya dengan harapan cepat
mendapatkan penanganan. Dengan berespon secara konkret, perawat dapat mendorong
klien untuk lebih focus pada masalah yang dihadapi. Hal ini terjadi karena
respons yang konkret dari perawar menumbuhkan rasa percaya klien sehingga klien
mau dan mampu mengungkapkan perasaanya (Suryani, 2006).
4. Empati
Mengerti perasaan klien saat
menghadapi masalah tanpa larut di dalamnya merupakan bentuk empati dari perawat
kepada klien. Perawat sebatas mengerti perasaan klien tanpa menunjukan respons
emosional yang berlebihan ketika melihat klien dalam masalah pribadinya.
Perawat memandang permasalahan dari kacamata klien (Suryani, 2006).
Saat memandang perasaan klien,
perawat tidak menghakimi perasaan klien dan hanya mengikuti perkembangan
perasaan emosional dari klien saja. Smith (1992) berpendapat bahwa empati
merupakan kemampuan menempatkan diri kita pada posisi orang lain serta
meamahami bagaimana perasaan orang lain dan apa yang menyebabkan reaksi mereka
tanpa emosi kita terlarut dalam emosi orang lain. Dengan demikian, empati bias
diartikan sebagai bentuk dukungan emosional perawat saat klien maupun keluarga
menghadapi masalah dengan mendorong tercapainya penerimaan dari (acceptance).
Kegiatan perawat untuk melakukan empati kepada klien dapat berbentuk tindakan berikut
ini:
a. Melihat klien dan keluarga sesuia
dengan paradigmanya
b. Memahami perasaan dan reaksi emosi
klien maupun keluarga
c. Menunjukan keikhlasan untuk membantu
d. Memberikan dukungan sosila melalui
kesan verbal dan nonverbal dalam menguatkan dan mempertahankan pertahanan
egonya
e. Mendorong klien dan keluarga untuk
mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata sendiri
f. Berkonsentrasi memperhatikan kesan
verbal dan nonverbal untuk mengerti perasaan dan alasan reaksi klien
g. Menyingkirkan perasaan khawatir
untuk membebaskan pikiran yang mengganggu
Menunjukan
respons empati kepada klien saat perawat dalam masalah pribadinya kemungkinan
sulit dlakukan apabila perawat tidak mampu menyingkirkan perasaan yang
mengganggunya sehingga diperlukan kiat-kiat untuk menunjukan respons empati,
antaralain sebagai berikut:
a. Mengosongkan pikiran yang
mengganggunya termasuk sentiment pribadi
b. Mau mendengarkan dengan penuh
perhatian
c. Menhormati klien mengungkapkan
perasaannya
d. Berbicara dengan nada suara yang
lembut
e. Memperhatikan aspek lingkungan
sekitar
f. Menempatkan respons klien berupa
reaksi dan bukan aksi
Dengan
respon empati, klien dan keluarga dapat merasa dihargai dan diperhatikan untuk
mencapai kondisi emosi yang stabil.
C. Dimensi
Tindakan
Dimensi ini termasuk konfrontasi,
kesegaran, pengungkapan diri perawat, katarsis emosional, dan bermain peran
(Stuart dan Sundeen, 1995, h.23). Dimensi ini harus diimplementasikan dalam
konteks kehangatan, penerimaan, dan pengertian yang dibentuk oleh dimensi
responsive.
1.
Konfrontasi
Merupakan pengekspresian perawat terhadap perilaku klien
yang merusak agar klien sadar akan perilakunya guna memperluas kesadaran diri
klien. Perawat perlu menanyakan kembali mengapa ada perilaku yang
merusak/destruktif pada diri klien agar klien menyadar bahwa perilak yang baru dilakukan
tadi merugikan baik diri sendiri, orang lain, maupun ligkungan. Menurut Smith
dalam Nurjanah, I, (2001), konfrontasi dilakukan apabila terdapat:
a) Tingkah laku tidak produktif
b) Tingkah lakunya merusak
c) Ketika mereka melanggar hak kita/hak
orang lain
Tujuan
konfrontasi yang dilakukan adalah agar orang lain sadar adanya ketidaksesuaian
pada dirinya dalam hal persaan, tingkah laku, dan kepercayaan (Smith, 1992).
Ketidakjelasan dari tindakan kien karena tindakannya yang tidak wajar membuat
perawat perlu mengkonfrontasi tindakan tersebut agar perawat mengerti mengapa
klien melakukan tindakan atau punya perasaan serta keyakinan seperti itu.
Cara-cara untuk mengkonfrontasi
adalah sebagi berikut:
a.
Membuat
Sesuatu Lebih Jelas
Saat klien mengekpresikan sebuah
kekesalannya terkadang sulit untuk dimengerti, karena apa yang diperbuat klien,
tidak biasa ia perbuat. Agar ia menyadari bahwa apa yang diperbuat itu
merupakan sesuatu yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan harapan, maka
keadaan yang kurang baik itu diperjelas lagi. Kejelasan situasi akan membuat
hubugan menjadi bermakna dan lebih terbuka.
b. Menginterpretasikan Opini dengan
Kata-Kata yang Lebih Jelas
Suasana yang kurang nyaman pada diri klien juga terkadang
tidak disadari oleh klien sendiri. Kegaduhan saat keluarga berkunjung atau
kotoran yang berserakan di sekitar klien akibat adanya pengunjung yang kurang
menaati kebersihan, membuat suasana kurang nyaman. Hal ini akan memicu adanya
ketenangan klien dan terjadinya transmisi infeksi pada klien. Untuk itu perewat
dalam meliha keadaan seperti itu perlu tindakan segera mengingatkan keluarga
klien dengan mengatakan sesuatu yang benar menurut yang ia yakini tanpa
menyalahkan pihak lain.
c. Minta Untuk Bertindak dan Berperilaku
yang Asertif
Adanya suasana yang kurang nyaman dengan adanya suasana
gaduh dan kebersihan lantai yang kurang tersebut, perawat bisa dengan meminta
pada keluarga untuk bertindak yang positif atau bertindak arif dan bijaksana,
karena apa yang diminta oleh perawat sebenarnya untuk kepentingan klien.
d. Memberikan Harapan, Kepercayaan, dan
Dukungan
Kata-kata yang bisa membangkitkan semangat klien akan
memotivasi klien utnuk berbuat lebih baik lagi. Untuk itu perawat seharusnya
jangan segan-segan memberikan penguatan positif atas hal-hal yang mampu
dikerjakan klien maupun keluarga dengan benar. Apa yang dilakukan benar oleh
klien maupun keluarga, perawat semestinya selalu merespons poditif dan bukan
sebaliknya atau meremehkan apa yang telah klien maupun keluarga perbuat.
Carkhoff (dikutip oleh Stuart dan Sundeen,
1998) mengidentifikasi tiga kategori konfrontasi yaitu sebagai berikut:
a. Ketidak sesuaian antara konsep diri ien
(ekspresi klien tentang dirinya) dan ideal diri (ciri-ciri /keinginan klien).
b. Ketidaksesuaian antara ekpresi
nonverbal dan perilaku klien
c. Ketidaksesuaian antara ekpresi
pengalaman klien tentang dirinya dan pengalaman perawat tentang klien
Konfrontasi
seharusnya dilakukan secara asertif bukan agresif/marah. Oleh karena itu,
sebelum melakukan konfrontasi perawat perlu mengkaji antara lain:
·
Tingkat
hubungan saling percaya dengan klien
·
Waktu
yang tepat
·
Tingkat
kecemasan
·
Kekuatan
koping klien
Konfrontasi sangat tepat dilakukan untuk klien yang telah
mempunyai kesadaaran diri tetapi perilakunya belum berubah.
2.
Kesegeraan
Merupakan perasaan yang sensitive terhadap orang lain.
Kesegeraan merupakan kepedulian perawat akan masalah yang menimpa klien.
Dimensi kesegeraan pada komunikasi terapeutik berarti kesediaan perawat
bertindak secepat mungkin dan saat itu juga untuk mengatasi segala sesuatu yang
kemungkinan merugikan klien. Kegiatan ini untuk memenuhi kebutuhan klien dengan
segera tanpa menunda-nunda selagi tidak ada sesuatu yang lebih darurat.
Sensitivitas ini terjadi ijka interaksi perawat-klien difokuskan dan digunakan
untuk mempelajari fungsi klien dalam hubungan interpersonal lainnya.senstivitas
perawat terhadap apa yang dipermasalahkan klien menjadikan pelayanan
keperawatan menjadi lebih efektif. Dengan tidak menunda-nunda kegiatan
pelaayanan keperawatan, semua pelayanan keperawatan ditingkat ini akan
terlayani semua, mengingat pelayanan keperawatan yang harus dijalankan.
Kesegeraan berarti perawat peka terhadap perasaan dan
permasalahan klien. Stimulasi yang dini akan mengurangi kecemasan dan
ketidakpercayaan klien terhadap perawat serta klien menjadi koorperatif. Hal
ini terjadi karena kesegeraan mempunyai konotasi sebagai sensitivitas perawat
pada perasaan klien dan kesediaan untuk mengatasi perasaan daripada
mengacuhkannya (Stuart dan Sundeen, 1995). Salah satu penyebab kebuntuan dalam
komunikasi antara perawat dengan klien adalah tidak adanya sensitivitas pada diri
perawat akan permasalahan dan perasaan klien.
3.
Membuka Diri
Keterbukaan perawat tidak diartikan bahwa perawat akan
menceritakan masalah pribadinya. Keterbukaan perawat di sini berarti bahwa apa
yang diungkapkan perawat membuat klien menjadi lebih tahu tentang pikiran,
perasaan, dan pengalaman pribadi kita. Membuka diri dilakukan untuk keuntungan
klien, untuk menunjukan seberapa banyak perawat mengerti klien karena adanya
persamaan pikiran, perasaan, dan pengalaman (Nurjanah, I, 2001). Perawat
membuka diri dengn mengungkapkan pengalaman pribadinya mengenai keluhan yang
dirasakan klien dan prognosisnya dengan harapan untuk membantu mengurangi
kecemasannya dan mempercepat kesembuhannya.
Perawat membuka diri dengan harpan:
a. Unutuk menjadi model yang mendidik
b. Untuk mendukung gabungan dari
intervensi terapeutik
c. Untuk memvalidasi realitas
d. Untuk mendukung otonomi klien
Keterbukaan dalam konteks komunikasi terapeutik
menggambarkan sikap keterbukaan yang memberikan harpan yang lebih baik dan
bukan sebaliknya. Adanya keterbukaan menjadikan klien lebih kuat, malu, dan
khawatir sehingga ketika perawat membuka diri degan mengatakan sesuatu, perawat
perlu mempertimbangkan bahwa apakah rencana untuk membuka diri sesuai dengan
apa yang ingin klien dengarkan? Atau apakah klien merasa nyaman dengan
menyampaikan hal ini (aman dari hukuman, malu, legal, dan moral) (Smith, 1992).
Keterbuakaan
perawat diharapkan membuat perilaku klien menjadi lebih asertif dan terkontrol.
Oleh karena itu, utnuk menjadikan klien lebih asertif, perawat harus lebih
terbuka tentang dampak yang akan terjadi bila klien tidak menaati standar
aturan pelaksanaan pelayanan keperawatan yang berlaku. Hal ini bukan untuk
menakut-nakuti akan tetapi untuk mendapatkan perubahan perilaku klien menjadi
perilaku yang konstruktif.
4.
Katarsis Emosional
Klien didorong untuk membicarakan hal-hal yang sangat
mengganggunya untuk mendapatkan efek terpeutik. Klien akan bersedia
membicarakan keluhannya apabila sudah terbentuk hubungan saling percaya,
terutama maslah- masalah yang menyangkut pribadi. Ungkapan dari klien merupakan
hal yang berharga untuk perawat, baik untuk melaksanakan tugas-tugasn
keperawatan maupun untuk pengembangan ilmu keperawatan itu sendiri. Dalam hal
ini perawat harus dapat mengkaji kesiapan klien untk mendiskusikan maslahnya.
Jika klien mengalami kesulitan untuk mengekspresikan
perasaannya, perawat dapat membantu dengan mengekpresikan perasaannya jia
berada pada situasi klien. Untuk itu teknik komunikasi yang tepat dilakukan
dengan menggunakan broad opening atau
pertanyaan terbuka sehingga klien mampu mengekspresikan keluhannya secara alami
dan sistematis.
5.
Bermain Peran
Kegiatan bermain peran pada tatanan pelayanan keperawatan
adalah di mana semua kegiatan yang memerlukan pemahaman klien, perawat perlu
mendemonstrasikan terlebih dulu lalu meminta klien untuk mencoba. Terkadang
suatu tindakan keperawatan yang perlu dilanjutkan klien, bila hanya diberitahu
secara lisan saja, daya pemahamannya masih kurang jelas. Perlua danya kegiatan work shop untuk memperjelas dan
mempertegas sehingga diharapkan proses transfer
learning sesuai dengan materi. Adanya motivasi yang tinggi dari klien disebabkan
karena diberi contoh.
Saat bermai peran diharapkan ada komitmen untuk mendengarkan
dan menjalankan semua kegiatan yang telah didemonstrasikan sehingga ada
kebangkitan rasa keterlibatan emosional dan ketergantungan untuk mencoba
melakukan sendiri. Membangkitkan situasi tertentu untuk meningkatkan
penghayatan klien ke dalam hubungan antarmanusia dan memperdalam kemampuannya
untuk melihat situasi dari sudut pandang lain dan juga memperkenankan klien
untuk mencoba situasi baru dalam lingkungan yang aman.
D. Komunikasi
Verbal dan Nonverbal
1. Komunikasi
Verbal
Di rumah sakit, jenis komunikasi yang paling lazim digunakan
dalam pelayanan keperawatan adalah dengan pertukaran informasi secara verbal
terutama pembicaraan dengan tatap muka yang menggunakan Bahasa. Mealalui Bahasa
seseorang akan mengkomunikasikan dan menginterpretasikan kata secara verbal
sehingga bahasadapat didefinisikan sebagai sebuah seperangkat kata yang telah
disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung
arti (Cangara, H, 2006).
Selain itu, melalui bahasa seseorang juga dapat
mengungkapkan sebuah perasaa, ide, kesan, dan respon emosional dengan tujuan
agar tercipta hubungan yang baik dan tercipta ikatan-ikatan dalam kehidupan
manusia, serta mempelajari sekeliling kita dalam memahami linngkungan melalui
respon interaksi.
Jenis komunikasi ini memerlukan fungsi fisiologis dan
mekanisme kognitif yang akan menghasilkan bicara (Nurjannah, I, 2001). Sampai
pada tahap untuk diinterpretasikan dalam sebuah kata, komunikasi verbal
membutuhkan keterampilan kognitif dalam mengolah sebuah stimulus agar stimulus
tersebut mampu dipersepsikan dan ditampilkan dalam bentuk sebuah perasaan, ide,
keinginan untuk menguraikan sebuah stimulus, atapun sampai pada tahap mengingat
kembali yang diinterpretasikan dalam arti yang sesungguhnya. Kata-kata juga
sering digunakan untuk menyamoaikan arti yang tersembunyi dan menguji minat
seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan
tiap individu untuk berspons secara langsung, untuk itu perlu adanya pengenalan
bahasa. Komunikasi verbal yang efektif harus sesuai dengan hal-hal berikut:
a. Jelas dan Ringkas
Komunikasi yang efektif, sederhana, pendek, dan langsung.
Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemunginan terjadinya
kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan
mengucapkannya dengan jelas. Ulangi bagian yang penting dari pesan yang
disampaikan. Penerimaan pesan oerlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan,
siapa, dan dimana. Ringkas yaitu dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan
ide secara sederhana.
b. Pembendaharaan Kata
Komunikasi tidak berhasil jika pengiriman pesan tidak mampu
menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam
keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat
mengalami kebingungan dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari
informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti klien.
c. Arti Denotative dan Konotatif
Arti denotative adalah makna asli, makna asal, atau makna
sebenarnya yang dimilki oleh sebuah laksem. Hal ini dapat dikatakan sebagai
makna leksikal yang memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang
digunakan, sedangkan arti konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada
makna denotative sebelumnya yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau
kelompok orang yang menggunakan kata tersebut sehinga arti konotatif merupakan
pikiran, perasaaan, atau ide yang terdapat dalam suatu kata.
Intraksi social antar-personal sangat memungkinkan
terjadinya gesekan, seperti jika kita mengucapkan kata-kata secara denotative
seringkali menyebabkan emosional, maka dengan kata penuh makna konotasi, hal
tersebut dapat diatasi. Ketika berkomunikasi dengan klien, perawat harus
hati-hati dalam memilih kata-kata sehingga tidak mudah untuk disalahartikan,
terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi dan kondisi klien.
Oleh karena itulah, ungkapan yang mempunyai makna konotasi tersebut diucapkan
untuk beberapa kondisi, seperti berikut ini:
1) Memperhalus
ucapan. Beberapa
kata atau kalimat yang kita sampaikan kepada orang lain menggunakan ungkapan
dengan makna konotasi agar terdengar lebih halus dan tidak menyinggung persaan.
Dalam tata pergaulan masyarakat, aspek social dan budaya memegang peran sangat
penting untuk menjaga kondisi. Oleh karena itulah, untuk mengungkapkan
kata-kata diharapkan menggunakan kata dengan dengan makna konotasi sehingga
terdengar halus sehingga tidak memicu emosi seseorang.
2)
Mengendalikan emosional. Dalam berhubungan social dan
budaya, interaksi antar-personal seringkali dihiasi dengan tingkat emosional
tinggi. Kondisi seperti ini jelas sangat membahayakan suhu pergaulan.
Pertengkaran kecil, bahkan peperangan dapat terjadi karena tingkat emosi yang
meningkat tanpa terkendali. Tata pergaulan masyarakat yang sedemikian rupa
membutuhkan sesuatu yang mempunyai makna konotasi agar tidak emosional. Dan,
untuk mengantisipasi hal tersebut, seringkali kita mengucapkan kata-kata yang
mempunyai makna konotasi pada saat meluapkan emosi. Hal ini seringkali sangat
tepat untuk mencegah perelisihan yang tajam.
3)
Peringatan secara sopan. Terkadang, didalam interaksi social
yang kita lakukan harus berbenturan dengan orang-orang sulit. Benturan-benturan
ini dapat semakin keras jika cara memperingatkan salah. Kesalahan ini dapat menumbuhkan
sikap saling bermusuhan.
4)
Pujian yang indah. Ungkapan dengan makna konotasi
sering kali diucapkan untuk tujuan memberikan pujian yang indah pada seseorang.
Oujian ini untuk membahagiakan hati, misalnya mengatakan gadis cantik dengan
ungkapan bunga desa. Inilah yang dimakdsud dengan makna konotasi. Biasanya
dengan ungkapan ini seseorang lebih terpikat dibandingkan dengan kata denotasi.
5)
Sebagai bumbu pergaulan. Di dalam pergaulan yang sehat,
peranan ungkapan-ungkapan yang mempunyai makna konotasi seingkali menjadi bumbu
yang dapat menjadikan pergaulan lebih hidup. Apalagi ketika di lingkungan
pergaulan anak muda. Ungkapan-ungkapan dalam pola komunikasi sering kali
dilakukan di lingkungan sebaya.
d. Selaan dan Kesempatan Berbicara
Kecepatan dan tempo bicara yang
tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan
pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan
kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap kien. Perawat
sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan
perlu diguankan untuk menekankan pada hal tertentu serta memberi waktu kepada
pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat
dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya,
menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukan. Perawat juga
bisa menanyakan kepada pendengar apakah ia berbicara terlalu cepat atau lambat
dan perlu untuk diulang.
e. Waktu dan Relevansi
Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan.
Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat
dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, perawat
harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitupula komunikasi
verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan berkaitan dengan minat
dan kebutuhan klien. Tidaklah tepat seorang perawat melakukan evaluasi tindakan
keperawatan saat jam tidur dan begitu tidak relevannya ketika yang ditanyakan
adalah sebuah pekerjaan dan bukan masalah keperawatan yang saat itu menjadi
keluhan utama yang dirasakan.
f.
Humor
Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa dapat
membantu mengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stress,
serta meningkatkan keberhasilan perawat dalam memberikan dukungan emosional
terhadap klien.
Sullivan dan Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang
produksi katekolamin dan hormone yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan
toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, dan memfasilitasi relaksasi
pernafasan. Humor juga dapat digunakan untuk menutupi rasa takut dan tidak enak
atau menutupi ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.
2.
Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal merupakan penyampaian kode nonverbal
yaitu suatu proses pemindahan atau penyampaian pesan tanpa menggunakan
kata-kata. Cangara, H, (2006) mendefinisikan bahwa penyampaian kode nonverbal
biasa disebut juga dengan bahasa isyarat atau Bahasa dian (silent language). Penyampaian kode nonverbal tersebut merupakan
cara yang paling efektif dan meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang
lian. Apabila terjadi pertentangan antara apa yang diucapkan dan apa yang
diperbuat, seseorang akan cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat kode
nonverbal daripada kode verbal. Oleh karena itu, perawat perlu menyadari
kode/pesan nonverbal yang ditampakan oleh klien sebagai upaya untuk
menjustifikasikan apa yang diungkapkan dan dipeermasalahkan klien merupakan
masalah utama atau prioritas utama yang harus segera ditangani.
Kode nonverbal sering ditemukan melalui sebuah pengamatan
cernat yang mulai dapat diamati saat pengajian sampai evaluasi asuhan
keperawatan, karena isyarat nonverbal menambah dan memberi arti terhadap pesan
verbal.
Tujuan
dari kode atau isyarat nonverbal antara lain sebagai berikut:
a. Meyakinkan apa yang diucapkan (repetition)
b. Menunjukan perasaan dan emosi yang
tidak bisa diutarakan dengan kata-kata (substitution)
c. Menunjukan jati diri sehingga orang
lain bisa mengenalnya (identity)
d. Menambah atau melengkapi
ucapan-ucapan yang dirasakan belum sempurna.
Komunikasi nonverbal dapat diamati pada hal-hal berikut:
a. Metakomunikasi
Komunikasi tidak hanya tergantung pada pesan, tetapi juga
pada hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Metakomunikasi adalah
suatu komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang bebicara
yaitu pesan di dalam pesan yang menyampaikan sikap dan pearasaan pengirim
terhadap pendengar. Contoh: tersenyum ketika sedang marah.
b. Penampilan Personal
Penampilan seseorang merupakan salah satu hal pertama yang
diperhatikan selama komunikasi interpersonal. Kesan pertama timbul dalam 20
detik sampai 4 menit pertama. 84% dari kesan terhadap seseorang berdasarkan
penampilannya (LalliAscosi, 1990 dalam Potter dan Perry, 1993). Bentuk fisik,
cara berpakaian, dan berhias menunjukan kepribadian, status social, pekerjaan,
agama, budaya, dan konsep diri. Perawat yang memperhatikan penampilan dirinya,
dapat menimbulkan citra diri dan professional yang positif. Penampilan fisik
perawat mempengaruhi persepsi klien terhadap pelayanan/asuhan keperawatan yang
diterima karena tiap klien mempunyai citra bagaimana seharusnya penmpilan
seseorang perawat. Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencermikan kemampuan
perawat, tetapi mungkin akan lebih sulit lagi perawat untuk membina rasa
percaya terhadap klien jika perawat tidak memenuhi citra klien.
c. Paralanguage
Intonasi atau nada suara pembicara mempunyai dampak yang
besar terhadap arti pesan yang dikirimkan karena emosi seseorang dapat secara
langsung memengaruhi nada suaranyanya. Perawat harus menguasai emosinya ketika
sedang berinteraksi dengan klien, karena maksud untuk menyamakan rasa tertarik
yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh nada suara perawat. Untuk itu
perawat juga harus mempelajari dan menyesuaikan diri dengan gaya bicara
seseorang.
d. Gerak Mata (eye gaze)
Kontak mata sangat penting dalam komunikasi interpersonal.
Orang yang memperhatika kontak mata selama pembicaraan diekspresikan sebagai
orang yang dapat dipercaya dan memungkinkan untuk menjadi pengamat yang baik.
Perawat sebaknya tidak memandang ke bawah ketika sedang berbicara dengan klien,
akan tetapi sebaliknya duduk sehingga perawat tidak tampak dominan dan kontak
mata dengan klien dilakukan dalam keadaan sejajar.
e. Kinesics
Merupakan gerakan tubuh yang menggambarkan sikap; emosi,
konsep diri, dan keadaan fisik. Perawat dapat mengumpulkan informasi yang
bermanfaat dengan mengamati sikap tubuh dan langkah klien. Langkah dapat
dipengaruhi oleh factor fisik seperti rasa sakit, obat, atau fraktur. Ada
beberaa gerakan tubuh antara lain sebagai berikut:
1) Emblems. Merupakan isyarat yang mempunyai
arti langsung pada symbol yang dibuat oleh gerakan badan. Isyarat yang
ditampilkan menunjukan bahwa ada masalah pada diri klien, isyarat tersebut
berbentuk rill dan tanpa adanya manipulasi. Contohnya: seseorang datang dengan
kepala yang diikat dengan kain atau yang lain menunjukan bahwa klien saat itu
menderita pusing yang hebat.
2) Illustrators. Merupakan gerakan badan yang dibuat
untuk menjelaskan sesuatu, misalnya besarnya barang atau tinggi rendahnya suatu
objek yang dibicarakan. Apabila
seseorang ingin menunjukan barang yang besar, maka akan memberi contoh dengan
melebarkan tangannya yang menandakan barang tersebut besar, dll.
3) Affect
display. Hasil suatu penelitian menunjukan enam keadaan emosi utama
yang tampak melalui ekspresi wajah: terkejut, takut, marah, jijik, bahagia, dan
sedih. Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam menentukan
pendapat interpersonal. Affect display
menggambarkan sebuah pesan karena adanya dorongan emosional sehingga
berpengaruh pada ekspresi wajah.
4) Regulator. Merupakan gerakan tubuh yang
terjadi pada daerah kepala, misalnya mengangguk pertanda setuju dan
menggelengkan kepala pertanda tidak setuju.
5) Adaptory. Merupakan gerakan badan yang
dilakukan sebagai tanda kejengkelan. Contoh seseorang yang memukul-mukul tembok
menandakan adanya rasa penyesalan yang dalam atau orang mengepalkan tinjunya
pertanda adanya rasa kejengkelan.
f.
Sentuhan
(touching)
Kasih sayang, dukungan emosional, dan perhatian dapat
disampaikan melalui sentuhan. Sentuhan merupakan bagian yang penting dalam
hubungan perawat-klien, namun harus memperhatikan norma social. Sentuhan
dilakukan dalam rangka untuk menciptakan sebuah keakraban atau persahabatan
yang intim. Sentuhan yang akrab akan memberikan garansi akan kualitas pelayanan
keperawatan, hal ini dikarenakan dengan sentuhan yang akrab klien sudah merasa
terlindungi oleh perawat. Perlu disadari bahwa keadaan sakit membuat klien
tergantung kepada perawat untuk melakukan kontak interpersonal sehingga sulit
unutk menghindari sentuhan.
Bradley & Edinburg (1982) dan
Wilson & Kneisl (1992)
menyatakan bahwa walaupun sentuhan banyak bermanfaat ketika membantu klien,
tetapi perlu diperhatikan apakah penggunaan sentuhan dapat dimengerti dan
diterima oleh klien sehingga harus dilakukan dengan kepekaan dan hati-hati.
Sentuhan menurut Cangara, H, (2006)
bisa ditunjukan melalui Kinesthetic, Sociofugal, dan Thermal.
1) Kinesthetic. Merupakan isyarat yang ditunjukan
dengan bergandengan tangan satu sama lain, sebagai symbol keakraban dan
kemesraan.
2) Sociofugal. Isyarat yang ditunjukkan dengan
jabat tangan atau saling merangkul. Dalam komuikasi dengan klien, menanyakan
inisial klien dengan menjulurkan tangan merupakan upaya untuk membina hubungan
saling percaya antara perawat dengan klien. Hal ini pertanda perawat terbuka
terhadap keberadan klien dalam rangka proses penyembuhan penyakit.
3) Thermal. Merupakan isyarat yang ditunjukan
dengan sentuhan badan yang terlalu emosional sebagai tanda persahabatan yang
begitu intim. Perawat memegang pundak atau tangan klien saat melakukan
pengkajian akan menunjukan respon empati yang baik dengan suasana keakraban.
Hal ini dilakukan perawat dengan harapan klien mengungkapkan perasaanya dengan
emosi yang terkendali.
E.
Aktif Listening
Menjadi pendengar yang baik merupakan keterampilan dasar
dalam melakukan hubungan perawat-klien. Ellis Gates dan Konworthy (2000)
menjelaskan bahwa mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian akan
menunjukan pada orang tersebut bahwa apa yang dikatakannya merupakan hal yang
penting dan dia adalah orang yang berarti. Mendengarkan menunjukan pesan “Anda
bernilai untuk saya” dan “Saya tertarik untuk mendengarkan anda.” Selama
mendengarkan secara aktif, perawat mengikuti apa yang dibicarakan klien dan
memperhatikannya.
Mendengarkan sescara aktif terdiri dari 4 tahap yaitu
membuka diri, mengidentifikasi masalah, menentukan tujuan, dan mengevaluasi
tujuan. Ada saat perawat berada dalam kondisi pseudolistening yaitu, keadaan
listening yang sebenarnya tidak terjadi. Kondisi pseudolistening tersebut
antara lain:
1)
Diam
untuk mempersiapkan apa yang akan dikatakan pada pembicara selanjutnya
2)
Mendengarkan
orang lain agar didengarkan
3)
Mendengarkan
hanya informasi tertentu saja
4)
Memperlihatkan tseolah-olah tertarik padahal tidak
5)
Mendengarkan hanya agar klien tidak merasa kecewa
6)
Mendengarkan agar tidak ditolak
7)
Mendengarkan untuk mencari kelemahan lawan bicara supaya
bisa mempunyai respons yang kuat.
Menurut Geldard, D. (1998), active
listening adalaha “merefleksikan apa-apa yang telah dikatakan seseorang
untuk memfasilitasi pemahaman kita tentang maknanya, penentuan masalah utama
dan pemecah masalah bersama. Mendengarkan secara aktif terdiri dari empat tahap
yaitu:
1)
Membuka diri. Perawat
berusaha agar klien mampu membuka diri dan mengekpresikan perasaannya. Teknik
komunikasi yang sering digunakan adalah pertanyaan terbuka, refleksi, dan
klarifikasi.
2)
Mengidentifikasi
masalah. Tugas perawat adalah mendapatkan gambaran yang detail dari permasalahan
yang dialami klien.
3)
Menentukan
tujuan. Perawat dank lien bersama-sama menentukan tujuan yang akan dicapai
dalam rangka mengatasi masalah klien.
4)
Mengevaluasi
tujuan. Perawat membantu klien dalam mempertimbangkan konsekuensi dari tiap
solusi yang dipilih sehingga klien merasa bahwa itu adalah solusi yang terbaik
bagi dirinya.
2.2 Tahap
dan Teknik Komunikasi Terapeutik
A.
Tahap
1.
Tahap Pra-Interaksi
Tahap ini disebut juga dengan tahap apersepsi di mana
perawat menggali lebih dahulu kemampuan yang dimiliki sebelum
kontak/berhubungan dengan klien termasuk kondisi kecemasan yang menyelimuti
diri perawat sehingga terdapat 2 unsur yang harus dipersipakan dan dipelajari
pada tahap prainteraksi yaitu unsur diri sendiri dan unsur dari klien.
Hal-hal
yang dipelajari dari diri sendiri adalah sebagai berikut:
a. Pengetahuan yang Dimiliki yang Terkait
dengan Penyakit dan Masalah Klien.
Pengetahuan yang dimiliki perawat akan kondisi klien dipakai
sebagai bekal dalam berinteraksi sehingga ketika perawat belum menguasai
penyakit dan keluhan klien, maka perawat perlu belajar dulu atau diskusi dengan
teman sejawat, atasan, maupun dengan yang lainnya sehingga ketika perawat hadir
secara fisik di hadapan klien, perawat sudah siap untuk berinteraksi.
Penguasaan materi yang akan didiskusikan mutlak sangat
diperlukan dalam berdiskusi dengan klien.
b. Kecemasan dan Kekalutan Diri.
Kecemasan yang dialami oleh seseorang dapat memengaruhi
interaksinya dengan orang lain (Ellis, Gates, dan Kenworthy dalam Suryani,
2006). Konsentrasi menjadi pecah, tidak mampu mefokuskan diri pada pembicaraan
yang actual serta tidak mampu mengendalikan diri. Untuk itu perawat sebelum
berinteaksi dengan klien harus mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan.
Kecemasan yang dialami oleh perawat mengakibatkan perawat
tidak mampu mendengarkan keluhan yang diutarakan klien dengan baik. Hal ini
merupakan persyaratan yang mutlak untuk dapat mengerti keluhan klien karena
penggunaan active listening sangat
dibutuhkan untuk mengerti keluhan klien. Perasaan-perasaan negative yang sering
timbul saat akan berkomunikasi dengan klien antara lain: ditolak klien, ragu
akan kemampuan yang dimiliki, ragu akan menanggapi respons klien, tidak
terbangunnya hubungan rasa percaya, dan kesulitan untuk memulai pembicaraan
(Suryani, 2006). Demikian juga kekalutan pada diri sendiri seperti masalah
pribadi yang akan mengganggu konsentrasi dalam melaksanakan tindakan
keperawatan yang sedang dijalankan.
c. Analisis Kekuatan Diri
Dalam diri seseorang terdapat kelebihan dan kekurangan.
Sebelum kontak dengan klien, perawat perlu menganalisis kelemahannya dan
menggunakan kekuatannya untuk berinteraksi dengan dengan klien. Analisis
kelemahan dalam rangka mencari solusi yang terbaik saat sebelum berinteraksi
dengan klien.
Kesadaran untuk mengakui kelemahan menumbuhkan minat untuk
mencari alternative koping dalam mengatasi permasalahannya sendiri. Analisis
kekuatan diri dalam konteks berkomunikasi dengan orang lain terutama pada aspek
kekuatan mental. Pada diri dengan mudah terpengaruh ataupun mudah emosional
akan memengaruhi proses komunikasi.
d. Waktu Pertemuan Baik Saat Pertemuan
Maupun Lama Pertemuan
Sebelum bertemu dengan klien, perawat perlu menentukan kapan
waktu yang tepat untuk melakukan pertemuan atau berkomunikasi dengan klien.
Perawat harus mampu menentukan waktu yang tepat saat pertemuan, perawat harus
tahu kebiasaan dan jadwal istirahat klien. Saat klien melakukan kegiatan,
sebaiknya perawat memotong kegiatannya dan mengajak diskusi, sampai klien
menyelesaikan kegiatannya. Saat klien sedang santai, saat itulah perawat
mengajak klien berdiskusi atau memulai pertemuan yang tentunya dimulai dengan
menentukan dulu kapan pertemuan dimulai (kontrak pertemuan).
Lama
pertemuan juga perlu dipertimbangkan agar klien tidak jenuh dalam diskusi,
biasanya lama diskusi 20-30 menit kecuali dengan tindakan keperawatan.
Sedangkan, hal-hal yang perlu dipelajari dari unsur klien adalah sebagai
berikut:
1)
Perilaku Klien Dalam Menghadapi
Penyakitnya
Perilaku destruktif pada klien saat menghadapi penyakitnya
akan menyulitkan perawat dalam berkomunikasi dengan klien. Sikap yang cenderung
defensive dan menarik diri (isolasi social), menjadikan klien menutup diri
sehingga perawat kekurangan informasi dan kesulitan dalam rangka menjalankan
tindakan keperawatan karena klien tidak kooperatif.
Perilaku destruktif maupun menarik diri dipicu adanya
kekecewaan akan penyakit yang diderita. Klien menjadi putus asa dan kehilangan
gairah hidup. Peningkatan rasa percaya diri dan rasa optimis akan penyakit yang
diderita mutlak diperlukan dalam mendukung proses penyembuhan, oleh karena itu
teknik komunikasi yang dipakai untuk menghadapi klien dengan sikap defensive
ataupun menarik diri adalah dengan menggunakan teknik komunikasi presenting reality yaitu menghadirkan
kondisi realita yang telah dilkukan klien.
Harapan dari teknik komunikasi presenting reality adalah mencoba menghadirkan ataupun menunjukan
pada klien tindakan yang telah dilakukan dengan harapan perilaku klien yang
destruktif tersebut, klien menjadi sadar akan perilakunya dan berubah menjadi
perilaku yang asertif. Sedangkan pada klien yang sudah asertif dan kooperatif,
perawat hanya mempertahankan hubungan itu menjadi hubungan yang saling
ketergantungan dan saling menguntungkan untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimal.
2)
Adat Istiadat
Kebiasaan yang dibawa klien ke rumah sakit saat menjalani
perawatan terkadang membawa pengaruh dalam hubungan perawat-klien. Kebisaan
tersebut seharusnya diakomodasi tanpa mengurangi prinsip-prinsip pelayanan
keperawatan. Demikian juga dengan Bahasa keseharian yang sering kali terjadi
kesalahan pada persepsi sehingga mengganggu dalam proses komunikasi.
3)
Tingkat Pengetahuan
Penguasaan penyakit ini terutama penguasaan dalam hal
tindakan keperawatan, komplikasi dari penyakit. Penguasaan tentang penyakit
yang diderita akan membantu dalam penerimaan diri. Penguasaan tentang penyakit
yang diderita akan membantu dalam penerimaan diri. Dengan adanya penerimaan
diri, klien menjadi lebih kooperatif dan asertif serta berperilaku yang
konsruktif dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
Namun
demikian, faktor penentu untuk mendapatkan perubahan perilaku seseorang tidak
hanya menempuh jalur pengetahuan saja, selain itu masih dibutuhkan kehadiran
tanda dan gejala penyakit yang diderita. Hal ini akan memudahkan perawat dalam
memberikan penyuluhan dan bahkan tanpa penyuluhan seseorang akan berubah
perilaku sendiri dan perilaku yang destruktif menjadi perilaku yang
konstruktif.
2.
Tahap Orientasi
Pada tahap orientasi ini perawat menggali keluhan-keluhan yang
dirasakan oleh klien dan divalidasi dengan tanda dan gejala yang lain untuk
memperkuat perumusan diagnosis keperawatan. Tujuan pada tahap ini untuk
memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien
saat ini, serta mengevaluasi tindakan yang lalu (Stuart, G.W, 1998). Maka dari
itu perawat perlu mendengarkan secara aktif untuk mengumpulkan data tersebut.
Perawat harus menyimak dengan benar dan teliti apa yang
telah diungkapkan klien dan memperhatikan data melalui studi dokumentasi yang
telah ada. Perawat harus mengetahui masalah keperawatan yang terdapat pada diri
klien yang diperoleh dari timbulnya tanda dan gejala dari keluhan yang
dirasakan melalui studi dokumentasi, observasi, wawancara, maupun dari
pemeriksaan fisik. Dari data yang diperoleh akan disusun rencana tindakan
keperawatan serta implementasi yang akan dikerjakan pada tahap kerja.
Tahap orientasi ini merupakan jembatan untuk memasuki tahap
kerja sehingga data yang telah ditemukan dan dikelompokan perlu juga
diverifikasi dan divalidasi sehingga ditemukan keakuratan data. Teknik
komunikasi yang sering digunakan adalah validasi, konfrontasi, dan presenting reality. Perawat harus mampu
membuat kesimpulan dari proses interaksi tersebut untuk memasuki tahap kerja.
Tugas perawat pada tahap orientasi ini meliputi hal-hal berikut ini:
a.
Membuat
kontrak dengan klien.
Isi
dari kontrak yang akan dirumuskan terdiri atas topik, tempat, dan waktu. Kontra
ini menggambarkan adanya konsistensi sebuah kontrak harus ada kesepakatan
bersama antara perawat-klien karena kontrak yang akan diputuskan harus mendapat
persetujuan dari kedua belah pihak sehingga dalam ruang lingkup interaksi telah
terjadi kesepakatan bersama antara klien-perawat perihal topic yang akan
didiskusikan termasuk juga tempat yang akan dijadikan tempat diskusi, waktu
pelaksanaan, dan juga lama pelaksanaan diskusi. Pada tahap orientasi ini,
interaksi difokuskan pada masalah yang utama atau prioritas utama agar
komuikasi tidak banyak yang menyimpang dari kontektual, tidak berlarut-larut,
serta dilangsungkan di tempat yang representative atau tempat yang nyaman.
Menurut Brammer dalam Suryani (2006), kontrak akan menjamin kelangsungan
interaksi.
b. Eksplorasi pikiran dan perasaan
serta mengidentifikasi masalah keperawatan klien.
Penting
sekali menggali pikiran dan perasaan klien saat di tempat pelayanan kesehatan
terutama mengenai tingkat kecemasan akibat masalah yang mengganggu dalam
pikirannya seiring adanya penyakit yang diderita. Dengan adanya kecemasan pada
diri klien merupakan awal dari tidak tercapainya keinginan perawat untuk
mendapatkan data yang faktual. Demikian juga dengan upaya mengidentifikasi
masalah keperawatan pada klien. Kegagalan perawat pada tugas ini akan
menimbulkan kegagalan pada keseluruhan interaksi. Pada identifikasi masalah
keperawatan, perawat dituntut menguasai bidang keilmuan, teknik komunikasi,
strategi komunikasi, dan mampu memotivasi klien agar mau menceritakan semua
keluhan yang dirasakan. Di sini perawat dituntut untuk kesabarannya dan
keluwesannya.
c.
Menetapkan
tujuan yang akan dicapai.
Adanya
tujua yang akan dicapai, memberikan semangat bagi klien untuk selalu koopertaif
dan berkomitmen dalam berinteraksi. Maka dari itu dalam menentukan tujuan yang
akan dicapai harus spesifik, realistis, bisa dicapai, dapat diukur dengan
jelas, sederhaa, da nada waktunya. Dengan adanya tujuan yang akan dicapai
memberikan kejelasan arah dalam berinteraksi, komunikasi menjadi lebih
fleksibel, kredibel, akuntabel, dan variatif. Komunikasi menjadi tidak monoton
dan tidak membosankan.
3.
Tahap Kerja
Tahap kerja merupakan tahap untuk menimplementasikan rencana
keperawatan yang telah dibuat pada tahap orientasi. Perawat menolong klien
untuk mengatasi cemas, meningkatkan kemandirian, dan tagging jawab terhadap
diri serta mengembangkan mekanisme koping konstruktif (Nurjanah, I, 2001). Keceamasan yang menimpa klien sebagian besar
dari tindakan keperawatan yang dilakukan pada fase kerja. Mengingat pentingnya
tindakan keperawatan dalam rangka proses kesembuhan klien, maka hal tersebut
tidak bisa dihindari namun disikapi dan diterima sebagai hal yang terbaik untuk
klien. Bgaaimnapun juga bila tindakan keperawatan yang dilakukan perawat tdak
mendapat persetujuan klien, maka tindakan tersebut tidak dapat dilakukan, harus
ada persamaan persepsi, ide, dan pikiran antara klien dan perawat dalam
melaksanakan tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan
keperawatan yaitu mempercepat proses kesembuhan sehingga sangat diperlukan
adanya kemandirian sikap dari klien dalam mengambil keputusan.
Menurut Murray, B
dan Judith, P dalam Suryani (2006), pada tahap kerja ini
perawat diharapkan mampu menyimpulkan percakapanya dengan klien. Teknik
menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-hal yang
penting dalam percakapan dan membantu perwat-klien memilki pikiran dan ide yang
sama terhadap proses kesembuhan penyakitnya sendiri.
Pada tahap kerja ini, perawat bertugas meningkatkan
kemandirian tangung jawab terhadap proses penyembuan penyakitnya dengan
mencarikan alternative koping yang positif sehingga didapatkan suatu perubahan
perilaku. Perawat mengeksplorasi stressor yang tepat dan mendorong perkembangan
wawasan diri yang dihubungkan edngan persepsi, pikiran, perasaan, dan tindakan
klien (Nurjanah, I, 2001). Tidak semuanya intervensi yang telah dibuat akan
dilaksanakan semua pada tahap implementasi ini, akan tetapi pada tahap kerja
ini selalu berorientasi pada tujuan yang ingi dicapai, terutama tujuan khusus. Pada
tahap ini perawat dituntut keahlian profesionalnya untuk mengurangi sikap defensive
dan isolasi social dari klien. Kepercayaan diri dan keluwesan berkomunikasi
dari perawat sangat berpengaruh dalam menjalankan keahlian profesionalnya.
4.
Tahap Terminasi
Merupakan tahap dimana perawat mengakhiri pertemuan dalam
menjalankan tindakan kepreawatan serta mengakhiri interaksinya dengan klien.
Dengan dilakukan terminasi, klien menerima kondisi perpisahan tanpa menjadi
regresi (putus asa) serta menghindari kecemasan. Terminasi dilakukan agar klien
menyadari bahwa ada pertemuan ada pula perpisahan, di mana hubungan yang
dibangun hanya sebatas hubungan perawat dan klien. Perawat harus mampu
menghadirkan realitas perpisahan. Perawat harus dapat menghindar dari perbuatan
melanggar batas, di mana hubungan yang dibangun secara professional berubah menjadi
hubungan pribadi.
Kegiatan yang dilakukan perawat adalah mengevaluasi seputar
hasil kegitan yang telah dilakukan sebagai dasar untuk tindak lanjut yang akan
datang. Dalam hubungan perawat-klien terdapat dua terminasi yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara
dilakukan bila perawat mengakhir tindakan keperawatan, masa tugas berakhir atau
operan dengan teman sejawat dalam rangka untuk peralihan tugas. Sedangkan,
terminasi akhir dilakukan bila klien akan meninggalkan rumah sakit karena sudah
sembuh atau pindak ke rumah sakit lain dengan memberikan discharge planning yaitu memberikan pesan-pesan pokok yang perlu
dilakukan oleh klien untuk ditindak lanjuti di rumah atau di tempat yang lain.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap terminasi adalah sebagai berikut:
a.
Evaluasi
subjektif
Kegiatan
yang dilakukan dengan engevaluasi suasana hati setelah terjadi interaksi dengan
klien. Kegiatan ini penting sekali dilakukan agar perawat tahu kondisi
psiokologis klien dalam rangka menhindarkan klien dari sikap defensive maupun
menarik diri. Evaluasi subjektif mencakup evaluasi tentang perasaan-perasaan
yang menyelimuti hati klien saat terjadi proses interaksi perawat-klien, selain
itu juga agar perawat mengevaluasi dirinya sendiri untuk dipakai acuan dalam
proses interaksi selanjutnya.
b.
Evaluasi
objektif
Merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk mengevaluasi respons objektif terhadap hasil yang
diharapkan dari keluhan yang dirasakan, apakah ada kemajuan ayau sebaliknya.
Untuk mengevaluasi ini perawat cukup berpedoman pada Nursing Outcome Clasification dari tujuan yang ingin dicapai agar
tidak terjadi bias dan tepat sasaran. Evaluasi objektif ini dilakukan untuk
megukur pencapaian hasil tindakan keperawatan yang telah dilakukan untuk
menentukan keberhasilan tindakan keperawatan dan menentukan langka selanjutnya.
c.
Tindak
lanjut
Kegiatan
yang dilakukan dengan menyampaikan pesan kepada klien mengenai lanjutan dari
kegiatan yang telah dilakukan. Pesan yang disampaikan itu relevan, singkat,
padat, dan jelas agar tidak terjadi misscomunication.
Pada terminasi sementara, tindak lanjut biasanya tidak tertulis yang cukup
dipesankan melalui lisan. Sedangkan, untuk terminasi akhir harus secara
tertulis yang terkonsep dalam discharge
planning. Terminasi akhir yang perlu dipesankan adalah seluruh kegiatan
yang akan dilakukan setelah klien pulang atau pindah ke rumah sakit lain.
Walaupun terminasi akhir itu diberikan secara tertulis, alangkah baikna perlu
dibacakan terlebih dulu agar klien dan keluarga memahami. Biasanya terminasi
akhir berisi:
1) Tindakan keperawatan lanjutan
2) Obat-obatan yang perlu dilanjutkan
atau dihentikan
3) Jadwal kontrol selanjutnya
4) Kegiatan yang boleh dan tidak boleh
dilakukan setelah di rumah
5) Kegiatan rehabilitasi yang
dianjurkan
6) Menentukan kontrak yang akan datang,
kontrak ini meliputi kontrak waktu, tempat, serta tujuan interaksi (Suryani,
2006).
B.
Teknik
1.
Penggunaan Tepat
Tiap
klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan teknik berkomunikasi yang
berbeda pula. Berikut adalah teknik komunikasi berdasarkan referensi dari Shives (1994), Stuart & Sudeen (1950) dan Wilson
& Kneils (1920).
a.
Mendengarkan
dengan penuh perhatian. Artinya perawat mengkomunikasikan kepada klien tentang
minat dan penerimaan perawat secara nonverbal.
b.
Menunjukan
penerimaan. Menerima, perawat berarti bersedia mendengarkan klien tanpa
menunjukan keraguan atau tidak setuju.
c.
Bertanya.
Perawat mendorong klien untuk
mengungkapkan perasaan dan pikirannya.
d.
Mengulang. Hal ini menunjukan bahwa perawat
sedang mendengarkan dan memvalidasi, menguatkan dan mengembalikan perhatian
klien pada sesuatu yang telah dicapkan klien.
e.
Klarifikasi. Perawat menjelaskan kembali ide
atau pikiran klien yang tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti
dari ungkapannya.
f.
Memfokuskan. Bertujuan memberi kesempatan kepada
klien untuk membahas masalah inti dan mengarahkan komunikasi klien pada
pencampaian tujuan.
g.
Refleksi. Perawat mengarahkan kembali ide,
perasaan, pertanyaan, dan isi pembicaraan kepada klien.
h.
Diam. Digunakan untuk memberikan
kesempatan pada klien sebelum menjawab pertanyaan perawat.
i.
Memberi
informasi. Merupakan tindakan penyuluhan kesehatan yang diberikan
untuk klien.
j.
Memberi
kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan. Perawat memberikan kesempatan pada
klien untuk berinisiatif dalam memilih topic pembicaraan.
k. Menganjurkan untuk meneruskan
pembicaraan. Teknik ini menganjurkan klien untuk mengarahkan hamper
seluruh pembicaraan yang mengidentifikasikan bahwa klien sedang mengikuti apa
yang sedang dibicarakan dan terarik dengan apa yang dibicarrakan selanjutnya.
l.
Membagi
presepsi. Yaitu meminta pendapat klien tentang hal yang perawat
rasakan atau pikirkan.
m. Refleksi.
Perawat menganjurkan kembali untuk
mengemukakan dan menerima ide serta perasaanya sebagai bagian dari dirinya
sendiri.
n. Menawarkan diri. Merupakan kegiatan untuk memberikan
respon agar seseorang menyadari perilakunya yang merugikan baik dirinya sendiri
maupun orang lain tanpa ada rasa bermusuhan.
o. Menyampaikan hasil obeservasi.
Perawat perlu memberikan umpan balik
kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga dapat diketahui
apakah pesan diterima dengan benar.
2.
Penggunaan yang Kurang Tepat
a. Memberi Jaminan. Artinya menyatakan sesuatu pada
klien yang belum pasti hasilnya dengan maksud menenangkan
b. Memberikan Penilaian. Memberikan penilaian dapat
mengakibatkan klien merasa bahwa perawat mengabaikan perasaan klien atau
merendahkan dirinya (Kozier, Erb & Oliveri dalam Suryani, 2005)
c. Memberi Komentar Klise. Artinya memberikan komentar yang
itu-itu saja atau komentar yang terlalu umum (Kozier, Erb & Oliveri dalam
Suryani, 2005). Contoh: setiap klien melakukan atau menjawab sesuatu dengan
tepat, perawat mengatakan “bagus”
d. Memberi
Saran. Memberi saran pada kiln tidak tepat karena apabila
saran (advice)-nya tidak mampu mengatasi masalah, klien akan menyalahkan atau
memulangkan pada perawat (Gerald, D dalam Suryani, 2005)
e. Mengubah
Pokok Pembicaraan. Teknik ini tidak tepat karena
berorientasi pada perawat. Pada saat menggali masalah klien, terkadang perawat
tidak tertarik pada ungkapan klien sehingga perawat mengubah topic pembicaraan (Kozier, Erb & Oliveri dalam
Suryani, 2005)
f. Defensive. Respon perawat yang defensive bisa
menghambat klien dalam mengungkapkan pesanannya (Kozier, Erb & Oliveri
dalam Suryani, 2005). Dengan memberikan respons defensive, sebetulnya perawat
sedang menutupi kekurangan atau kelemahannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kemampuan menerapkan tehnik
komunikasi terapeutik memrlukan latihan
dan kepekaan serta ketajaman perasaan, karena komunikasi
terjadi tidak dalam kemampuan tetapi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang
turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak
terapeutiknya bagi klien dan juga kepuasan bagi perawat.
Komunikasi juga akan memberikan
dampak terapeutik bila dalam penggunaanya diperhatikan sikap dan tehnik
komunikasi terapeutik. Hal lain yang cukup penting diperhatikan adalah dimensi
hubungan. Dimensi ini merupakan faktor penunjang yang sangat berpengaruh dalam
mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik.
3.2 Saran
Kesadaran diri perawat merupaka
dasar utama dalam membina hubungan terapeutik dengan klien. Sikap fisik dan
psikologis yang diuraikan melalui nonverbal, dimensi respon dan dimensi
tindakan perlu dipelajari dan dipakai dalam prkatek keperawatan. Kepuasan klien
akan asuhan keperawatan banyak dipengaruhi oleh sikap perawat dalam
berkomunikasi. Untuk kerena itu sebagai mahasiswa keperawatan dan tenaga medis
kita harus memahami teori tentang penggunaan diri secara efektif.